Wednesday, January 21, 2009

Palestina

Ketika Palestina dibombardir Israel selama 23 hari, tak ayal batinku pun ikut menjerit. Duka Palestina adalah dukaku jua. Saat itu, aku sempat menulis ini.

Aku tak akan pernah melupakan saat ini: tragedi kemanusiaan yang mencabik bumi Palestina. Sementara aku hanya bisa menatap layar TV dengan mata kaca, sesekali embun menitik dari pelupuk.

They’re just kids. Sebagian di antaranya baru seumur Hanif. Masya Allah...

Aku harus meyakini, skenario-Nya yang terbaik. Mungkin hanya doa yang bisa kuberikan, tak tahu harus berbuat apa.

Maka saksikanlah. Di Palestina... di sanalah sejatinya baik dan buruk bertarung, di sanalah sesungguhnya bumi para mujahid, di sanalah sebenar-benarnya bumi para syahid.

Agresi kali ini mungkin telah berakhir. Gencatan senjata? Hmm, rasanya bukan istilah yang tepat. Eropa dan dunia Arab mungkin bisa menepuk dada bahwa lobi-lobi mereka berhasil memaksakan gencatan senjata. Tapi kurasa, Israel menghentikan agresinya bukan karena bersedia melakukan gencatan senjata (Israel terlalu sombong untuk patuh pada dunia internasional). Melainkan karena target serangan mereka—yaitu melumpuhkan HAMAS, memusnahkan terowongan-terowongan bawah tanah, meluluhlantakkan infrastruktur Gaza, dan membunuh sebanyak mungkin orang Palestina—sudah tercapai. Jadi tak perlu menyerang lagi. Kalau cuma gencatan senjata, harusnya tak perlu menunggu 1300 nyawa melayang kan?

1300 nyawa... semoga Israel bisa diseret ke pengadilan internasional karena kejahatan perangnya. Bukan cuma kali ini saja kan?

1300 nyawa... semoga tidak sia-sia... semoga mereka syahid semuanya.

No comments:

Post a Comment