Wednesday, July 09, 2008

Suami Terbaik


Sejak awal aku menikah, aku sudah sadar sepenuhnya kalau aku menikahi orang yang benar-benar sayang dan baik padaku *hehehe, bukan GR lho*. Makin hari, kesadaran ini makin nyata. Terutama ketika aku hamil. Meskipun terpisah jarak dan waktu, hal itu tak pernah menghalanginya untuk "melayaniku". Dia selalu dengan senang hati peduli padaku, memijat punggungku, membuatkan aku susu, mengupaskan buah, menyuapiku makan, mengambil alih pekerjaan rumah tangga, dan seabrek kebaikan lainnya.

Ketika aku melahirkan, suamiku juga mengantar, menunggui, dan menguatkan di kala aku kesakitan. Mungkin ini terdengar seperti komitmen yang biasa dilakukan seorang suami. Tapi sungguh, dia tampak seperti pahlawan di mataku karena mendampingi aku dari awal hingga akhir.

Ketika aku dan Hanif pulang ke rumah, sikap pahlawannya pun bertambah-tambah. Dia masih dengan senang hati peduli padaku, memijat punggungku, membuatkan aku susu, mengupaskan buah, menyuapiku makan, dan mengambil alih pekerjaan rumah tangga. Dia juga selalu jadi yang pertama bangun ketika Hanif menangis malam-malam, mengganti popok, atau menggendong Hanif kepadaku untuk kususui. Benar-benar breastfeeding father sejati.

Yang paling menggembirakanku adalah... dia pendukung utama program ASI eksklusif-ku. Padahal dulu aku pernah sangsi. Dia-lah orang yang meyakinkanku bahwa aku bisa memberi ASI eksklusif pada Hanif di saat orang-orang meragukan, bahkan di kala aku sendiri hampir menyerah: akan memberi Hanif susu formula ketika harus kutinggal dua hari satu malam untuk acara pernikahan kakakku.

Ah, andai suamiku selalu ada di sampingku untuk bersama-sama mengasuh, merawat, dan membesarkan Hanif. Bahkan kala aku cuti melahirkan seperti saat ini, aku masih tak bisa serumah dengannya. Karena sesuatu dan lain hal, terpisah jarak Jakarta-Bandung masih menjadi kenyataan yang harus dijalani.

Tapi aku tak boleh mengeluh. Hidup terlalu indah untuk dihabiskan dengan mengeluh. Apalagi kini, setelah pangeran kecilku yang tampan hadir menemani hari-hariku. Meskipun kini waktuku dan suami habis untuk Hanif, meskipun kini kami tak leluasa pacaran seperti dulu *hehehe*, semoga kemesraan suamiku dan segala kebaikannya tak pernah berkurang. Justru makin bertambah-tambah. Thanks to Allah for giving me the best husband on earth. Alhamdulillah.

Cerita Persalinan


Pengen sharing sedikit soal kelahiran Hanif. Alhamdulillah, prosesnya lancar dan terbilang cepat untuk ukuran anak pertama. Hitung aja: aku masuk RS St. Borromeus kira-kira pukul 18.00 dan pada pukul 23.25 Hanif udah lahir. Kurang dari enam jam. Berikut kronologisnya.

16 Juni 2008

10.00-11.00
Aku lagi nonton Oprah Winfrey Show sambil main The Sims 2. Jumat sebelumnya aku udah dapat installer game ini *thanks to Nana*. Karena HPL Hanif masih tanggal 26 Juni, kupikir aku masih punya waktu lumayan banyak untuk menjajal game favoritku ini. Tapi pas aku main, kok kerasa pegel-pegel di punggung belakang dan sedikit sakit perut.

11.00
Aku beranjak ke kasur. Kupikir istirahat akan cukup untuk membuat pegel-pegel itu hilang. Tapi kok makin teratur sakit perutnya. Inikah yang namanya kontraksi? Kulihat jam di HP. Masih 12-14 menit sekali.

12.00
Flek-flek udah muncul. Mulesnya jadi 10 menit sekali. Aku telepon Mas Catur, ngabarin. Dia nanya itu kontraksi beneran atau nggak, kujawab aja nggak tahu. Ya iyalah, kan belum pernah melahirkan.

13.00
Mas Catur telepon. Nanyain masih kontraksi atau nggak. Aku jawab iya. Dia siap-siap berangkat ke Bandung. Aku siap-siap packing barang-barang yang mau dibawa ke rumah sakit.

14.00
Masih sempat nyuci dan mandi. Trus tiduran sambil nunggu Mas Catur datang. Masih santai-santai aja. Kupikir: ah, anak pertama ini, paling-paling pembukaannya lama. Masih males pergi sendiri ke rumah sakit. Nunggu Mas Catur aja. Dia lagi on the way.

16.30
Mas Catur telepon, katanya udah hampir sampai di Padalarang.

17.30
Mas Catur sampai di rumah, naik taksi dari Pasir Koja. Pakaiannya basah kuyup, katanya di Pasir Koja ujan deres. Habis ganti baju, kita berdua berangkat ke rumah sakit.

18.00
Resmi masuk rumah sakit. Mas Catur ngurus registrasi. Aku diperiksa. Baru pembukaan dua. Denyut jantung bayi juga diperiksa. Makan malam diantar ke kamar *laper banget euy*.

19.00
Udah selesai makan malam. Denyut jantung bayi dimonitor tiap jam. Siap-siap melahirkan. Kontraksi udah makin kuat aja.

21.00
Kontraksi makin kuat, makin sering, dan makin sakit. Tiap kali kontraksi datang, aku menggenggam tangan Mas Catur kuat-kuat.

21.30
Sakit banget rasanya. Aku merintih-rintih. Sama suster diperiksa. Udah pembukaan lima. Aku disuruh pindah ke kamar bersalin.

22.30
Hehehe, ternyata aku tuh nggak tahan sakit ya. Tiap kali kontraksi datang, aku teriak. Nggak tahu udah kayak apa tampangku saat itu.

23.00
Sakiiiitttt bangetttt. Udah pengen mengejan terus. Sama suster diperiksa lagi. Udah pembukaan sembilan. Suster manggil dokter. Alat-alat persalinan disiapkan.

23.15
Perjuangan dimulai. Antara sadar dan nggak sadar. Sakitnya nggak tertahankan. Kayaknya ketuban mulai pecah.

23.25
Aku mengejan kuat-kuat. Bagian bawahku terasa panas. Aduh, digunting deh, pikirku *hehehe, masih sempat mikir*. Sampai akhirnya aku denger Mas Catur menyebut hamdalah dua kali. Oh, bayiku udah lahir. Tangis kerasnya segera kedengeran. Proses selanjutnya berlangsung cepat di mataku. Aku kelelahan dan kewalahan mengikuti gerakan-gerakan cepat di sekitarku. Bayiku diperiksa, dibersihkan jalan nafasnya, dilap badannya, diletakkan di atas dadaku, sambil dokter menjahit bagian bawahku *dijahit ini sakit juga, weww*. Mas Catur mengadzani si bayi. Lalu suster ambil kamera, jepret-jepret untuk mengabadikan momen *foto di atas itu salah satu hasil karya sang suster*.

17 Juni 2008

01.30
Semuanya beres. Aku selesai dimandikan. Bayiku dibawa ke kamar bayi. Aku diantar ke kamar rawat inap.

01.45
Sampai di kamar, rasanya pengen tidur. Capek banget. Mas Catur nonton Euro sambil menunggui aku.

Penutup

Semua proses yang telah kujalani bikin aku tambah sayang sama Mami. Kebayang seperti apa dulu perjuangan beliau membawaku lahir ke dunia. Tak lupa mengucap syukur pada Allah, karena tanpa Dia, segala hal tak akan semudah dan selancar ini.

Seminggu pertama Hanif di rumah, Mami datang dari Solo dan membantuku beradaptasi merawat Hanif. Ketika Mami pulang, suara beliau tercekat dan aku tahu beliau berkaca-kaca. Dan seperti biasa, Mami berusaha menutupinya. Belakangan aku tahu dari Yesti kalau sebenarnya beliau nggak tega ninggalin Bandung, ninggalin cucu pertama beliau... Mami sayang, terima kasih atas segalanya. Penghargaan tulusku setinggi-tingginya untukmu. I love you even more and more and more...