Tuesday, April 22, 2008

Kritik (2)

Inilah perbincangan dengan suamiku (lewat sms) kemarin pagi.

Aku: “Waduh, makin banyak yang komentar di blog-ku, soal komentar Amorita itu. Kok aku ngerasa ‘diserang’ ya, Yang. Jadi sedih. Apa aku emang seburuk itu sih,Yang?”

Suamiku: “Kalau gitu di-delete aja, Yang. Biar nggak berlanjut-lanjut lagi. Tapi buat instropeksi juga, kita jadi bisa tahu mana yang baik dari comment itu.”

Aku: “Ah, Mas nggak jawab pertanyaanku. Jawab yang jujur ya. Mas kan yang paling tahu diriku. Apa aku emang seburuk itu?”

Suamiku: “Tentu nggak seburuk itu, Yang. Cuma istriku itu belum mau dan belum bisa dikritik. Kalau dikritik malah marah dan justru tidak mengambil hikmah dari kritikan. Kalau aku sih pasti menilai istriku adalah wanita paling baik sedunia.”

(Dalam hati) Wanita paling baik sedunia? Terima kasih karena telah mencoba menghiburku, Sayang. Tapi itu bukan jawaban yang kuharapkan.

Aku: “Kalau gitu mulai sekarang banyak-banyak kritik aku ya, Yang. Biar aku terbiasa.”

Yah, kuakui aku memang belum bisa bersikap dewasa menyikapi kritik. Dari dulu aku orangnya sensitif sekali. Sering punya pengalaman buruk dalam membina relasi dengan orang, karena kata-kata orang sering membuatku terluka. Hmm, jadi ingat, aku pernah menjaga jarak dengan seseorang yang tadinya sangat dekat hanya karena kata-katanya menghancurkan hatiku. Bukan, aku bukannya marah. Waktu itu aku jadi menjaga jarak karena takut terluka lagi. Rata-rata seperti itu: aku menjaga jarak atau memilih untuk tidak terlibat lebih jauh (atau lebih dekat) dengan orang karena aku takut terluka. Pengalaman pribadiku mengajariku bahwa orang-orang terdekatlah yang justru bisa membuat luka yang paling dalam.

Orang yang paling sering menyakiti kita adalah orang yang paling kita cintai. Dan kita selalu menyakiti orang yang mencintai kita. Ini sudah hukum kehidupan. Wah, kalau begitu, bagaimana dong? Oleh sebab itu, rahasia kebahagiaan ada pada mengampuni. Memaafkan. Forgive

Memaafkan itu bukan kebaikan kita untuk orang lain. Itu untuk kita sendiri. Untuk kebahagiaan kita.

Apa sebenarnya yang terjadi saat kita melukai orang yang kita sayangi?

Begini. Hati orang itu sangat rapuh, sangat sensitif. Oleh sebab itu ia dibungkus pelindung berlapis-lapis. Pada saat kita menyayangi orang, kita membuka lapisan itu. Satu persatu. Semakin dekat kita pada dia, semakin telanjang hati kita itu.

Nah, saat kita berbicara, bersikap atau bertindak salah, dia tidak siap. Pertahanannya sedang tidak siap. Lapisannya tidak terpasang. Akibatnya dia merasakan kesakitan dan kepedihannya.

Beda sekali, misalnya, bila kesalahan itu dibuat orang lain. Kepedihan tidak sebesar itu karena hatinya dilindungi lapisan pertahanan itu.

Memang kita bisa saja kemudian berkesimpulan, kalau begitu lebih baik dia menutup hatinya untuk siapapun. Supaya tidak ada yang sanggup melukainya.

Tidak bisa! Kebahagiaan sejati datang pada saat kita mempercayakan hati kita pada dia. Demikian juga sebaliknya kita dipercaya menjaga hatinya.

Justru saat kita memberikan dan mempercayakan hati yang sensitif itu kepada satu sama lain, kita bisa merasakan rahasia keindahan hidup itu.

Wah jadi bagaimana dong?

Nah, di sinilah kekuatan magic dari forgiveness. Mengampuni. Inilah obat, betadine, band aid, dari hati yang tergores. Penyembuh. Inilah bekal kita, kotak P3K dalam diri kita.

Jadi resep bersahabat, berumah tangga, atau apapun relasi kita, jangan ragu-ragu, bukalah hati kita. Tapi jangan lupa selalu siapkan bekal forgiveness.

Don’t leave your home without it.

(Dari Pak Armein, blog beliau adalah blog yang tak pernah absen kusinggahi)

Nah, kembali ke masalah kritik tadi. Belakangan ini aku jadi merenung. Banyak sekali kritik yang datang, di dunia maya maupun di dunia nyata. Khusus di dunia maya, special thanks to Amorita. Berkat dialah, aku jadi menerima banyak masukan (dukungan maupun celaan ). Lalu aku jadi banyak merenung. Mungkin sudah saatnya aku membuka diri, membuka hati. Dengan berbekal forgiveness, seperti kata Pak Armein. Bagaimanapun aku sadar, orang memberi kritik itu karena mereka sayang, karena mereka peduli. Hanya saja mungkin aku yang terlalu takut terluka. Selama ini, bukannya jadi terpacu atau termotivasi, kritik yang datang malah lebih sering membuatku minder dan merasa down.

Kemarin aku mencoba meminta feedback dari seorang teman, tentang bagaimana sebenarnya dia memandang diriku. Ini salah satu bentuk konkretku dalam uji coba membuka diri. Deg-degan sekali menunggu dia mengeluarkan pendapatnya, sambil harap-harap cemas menanti jawabannya. Ada beberapa kalimatnya yang serasa cubitan, tapi itu mungkin karena aku yang belum terbiasa membuka diri. Ke depannya, kuharap aku akan terbiasa.

Jadi siapapun kalian, yang sudah dan akan memberikan kritik, kuucapkan banyak-banyak terima kasih! Aku akan mencoba lebih membuka diri, membuka hati, meskipun mungkin bagi kalian prosesnya terlalu lambat. Mulai sekarang jangan takut mengatakan apapun padaku ya. Kalau responku agak bengong dan jadi blank akibat mikir “Oh, gitu ya?”… atau kalau responku jadi agak sedih dan shock… ya harap dimaklumi saja. Aku kan masih berproses. Berproses menjadi dewasa dalam menerima kritik. Dan ini bisa dibilang hal baru bagiku, karena *seperti analogi Pak Armein* dari dulu aku memang selalu memasang pertahanan berlapis-lapis untuk hatiku.

1st Anniversary

Happy belated wedding anniversary… more tough, more patient, more beautiful, more love, more money, more and more…
(sms dari Wiwit)

Ahad shubuh, 20 April 2008, dering telepon membangunkanku. Ucapan selamat dari suamiku di seberang lautan tak kuasa membuat mataku terbuka. Tapi senang juga mendengar suaranya. Tak lama kemudian dia sms, pamit mau terbang kembali ke Jawa. Horeee, 1st anniversary tak kulalui seorang diri.

Sepulangku dari Majelis Percikan Iman, suamiku sudah menunggu di rumah. Wah senangnya ada teknologi canggih bernama pesawat Bikin ruang dan waktu tak lagi berjarak. Suamiku tak henti-henti menciumiku dan menciumi si kecil dalam perut. Kangen katanya. Sayangnya seharian itu hujan terus, jadi nggak bisa keluar ke mana-mana. Jadinya mesra-mesraan di rumah aja deh. Sambil bernostalgia, “Jam segini setahun yang lalu kita lagi ngapain ya, Yang?”

Malamnya, ada agenda dinner berdua. Selepas maghrib kita berangkat ke Kafe Halaman. Wah lumayan naik level, habisnya selama ini level kita kan cuma kelas warteg Milih tempat duduk di pojok, diterangi cahaya lilin dan ditingkahi gerimis di dinding kaca. Romantis? Iya sih, tapi dingin bo!

Pesanan makanan segera datang. Baru sadar kalau kita berdua mesennya terlalu kalap. Bahkan suamiku mesen sampai dua porsi, hehehe. Dilihat-lihat lagi, pilihan menu kita juga beda banget. Suamiku milih menu tradisional Indonesia, sementara aku milih menu berbau barat yang penuh dengan keju *yummy…*. Emang selera kita berdua juga rada beda sih.

Makanan udah habis disantap. Perut kekenyangan bikin ngantuk. Suamiku udah ngajak pulang aja, pengen tidur Padahal aku masih pengen ngobrol di situ, kapan lagi coba nongkrong di kafe. Jarang-jarang ini. Ngobrolnya dilanjut di rumah aja, kata suamiku. Huh dasar, merusak suasana aja.

Keluar dari pintu kafe, suamiku bikin kejutan. Dia belikan aku bunga mawar dari penjaja bunga yang nongkrong di luar kafe. Aduh, aku kaget. Tumben amat. Iya, buat momen spesial, gitu katanya. Senangnyaaa… ini kali kedua aku dibelikannya bunga. Yang pertama pas aku wisuda dua tahun lalu.

Malam yang menyenangkan. Meskipun pertemuan kita cuma sebentar pekan ini, tapi aku udah seneng banget. Sayangku bikin aku merasa istimewa. Terima kasih, Sayang. Berharap kita bisa bersama… more than forever. Sampai ke jannah-Nya insya Allah ya, Sayang. I love you so much.

Jalan Sendiri

Sabtu pagi, aku memutuskan untuk menjalankan rencanaku bersenang-senang seorang diri. Nggak ada suami bukan berarti dunia kiamat kan Jadilah akhirnya hari itu aku mondar-mandir sendirian.

Ke RS St. Borromeus

Pukul tujuh lebih aku sudah sampai. Rencananya aku mau ikut senam hamil untuk pertama kalinya. Hari sebelumnya aku sudah telepon, katanya senam dimulai pukul setengah delapan. Tapi kok ini loket registrasinya belum buka. Kata satpam, susternya mungkin masih berdoa. Ya sudah, aku tunggu saja.

Hampir pukul delapan, loket baru buka. Setelah urusan registrasi selesai, aku beranjak ke aula tempat senam. Huhuhu, bumil-bumil yang lain pada ditemani suami. Iseng aku sms suami mengabarkan hal itu. Dia bilang maaf karena nggak bisa menemani, hehehe.

Ternyata senam hamilnya ringkas banget. Waktunya memang satu jam, tapi gerakan yang diajarkan kurang mendalam. Jadi kita diajari banyak gerakan tapi prakteknya sebentar-sebentar. Pikirku, wah percuma ini kalau cuma ngandalin waktu senam. Bentar banget. Harus praktek sendiri di rumah juga. Tapi pas mau praktek lagi di rumah, gerakan-gerakannya udah pada lupa, hehehe.

Pukul setengah sebelas aku cabut dari tempat senam, setelah sebelumnya mendapat secangkir minuman kacang hijau hangat dan mendengarkan penyuluhan seputar kehamilan dan persalinan.

Ke Masjid Salman ITB

Karena paginya belum sarapan, aku mampir ke kantin Salman. Duh, kangen juga. Dulu pas masih mahasiswa, aku sering banget makan di sini. Selesai makan, kuputuskan menanti adzan dhuhur sekalian. Aku duduk selonjoran di emper tempat wudhu akhwat sambil baca novel Ayat-Ayat Cinta (I know, I know… I’m kinda too late to read this novel). Angin sepoi membuatku terkantuk. Akhirnya aku mengusir jenuh dengan memandang berkeliling.

Pemandangan Salman masih sedinamis yang dulu. Orang-orang banyak berlalu lalang di antara Gedung Kayu dan Selasar Hijau. Di pelataran di bawah menara masjid, sekelompok aktivis unit Salman tengah berkoordinasi. Sementara di ruang utama masjid sedang diadakan dialog dan tatap muka dengan Ustadz Yusuf Mansur dan kru film Kun Fayakuun (pantesan waktu itu Masjid Salman kok rame banget, lagi ada tamu dari Jakarta ini rupanya).

Shalat dhuhur berjamaah diimami oleh Pak Samsoe Basaruddin. Kangen juga diimami beliau, hehehe. Habis itu aku langsung pergi lagi, bertolak ke tempat berikutnya. Masjid Salman selalu mampu membuatku merasa damai. Beruntung sekali dulu aku sempat mencicipi beraktivitas dan berorganisasi, sekaligus bertemu orang-orang hebat di tempat ini.

Ke Salon Nurita

Oya, ini saatnya memanjakan diri sendiri. Nyalon bo! Pengen creambath, sembari nyantai dan terkantuk-kantuk merasakan pijatan si mbak kapster. Berhubung punggungku mulai sakit lagi, jadi aku berharap pijatan si mbak bisa bikin relaks. Eh, ternyata mijatnya nggak sampai punggung bawah, padahal yang sakit bagian itu. Ya sudahlah.

Ke Kids Expo di Sabuga

Habis dari salon, aku langsung ke Sabuga. Wah, rame banget. Banyak yang jual makanan pula *hahaha, lapar mata*. Isi gerai pamerannya kebanyakan tentang tempat pendidikan anak dan jualan mainan edukatif anak. Waduhh, mainan edukatif anak kok mahal-mahal ya. Anakku nanti mau dibelikan apa, bangkrut ayah bundanya, hehehe. Kelak beli dari tempat Mbak Dini aja, lebih terjangkau.

Mengenai pendidikan anak sendiri, aku tertarik sekali sama suatu sekolah yang menawarkan konsep sekolah seperti Tomoe Gakuen (hayo, siapa yang nggak tahu?). Konsep sekolah kayak gini yang aku anggap ideal. Sayangnya kok lulusan sekolah ini belum diakui Diknas ya. Hhh, moga nanti pas anakku masuk sekolah, sekolah ini sudah lebih mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain.

Aku juga beli buku di sini: Pudarnya Pesona Cleopatra (I know, I know… I’m kinda too late to buy this book). Setahun yang lalu aku pernah dapat rekomendasi untuk baca buku ini dari Tommi. Sebelum pulang, aku mampir ke gerai es krim Slurrpp… Dapat tiga scope: rasa anggur, duren, sama vanilla. Sekali lagi memanjakan diri sendiri.

Di Rumah

Pas sampai di rumah, pas Nanny 911 dimulai. Acara favorit. Belajar banyak dari sini tentang pengasuhan anak. Yang belum pernah nonton, rugi banget deh. Ilmu menghadapi anak lumayan juga lho didapat dari tayangan ini. Berharap semoga anak-anakku kelak nggak seperti anak-anak di Nanny 911, hehehe.

Selepas maghrib, aku ngerasa lemes dan pusing. Kecapekan ‘kali ya. Udah gitu mau makan malam males banget. Aduh, kalau ketahuan suamiku bisa dimarahi. Habisnya badan rasanya nggak enak gitu. Akhirnya aku tidur sore. Meninggalkan laptop masih menyala. Jalan sendiri seharian diakhiri dengan tidur pulas memeluk guling

Friday, April 18, 2008

"Gw Bisa Sendiri Tanpa Elo!"

”Yang, besok aku ke Makassar...”

Begitu kata suamiku kemarin siang mengabarkan bahwa dia ditugaskan keluar kota sampai Ahad. Kenapa sih mesti weekend? Aku merutuk dalam hati, sedikit tidak terima. Pupus sudah rencana yang dari kemarin sudah terbayang. Sedianya akhir pekan ini dia akan menemaniku senam hamil, lalu jalan-jalan ke Kids Expo di Sabuga untuk melihat-lihat pameran perlengkapan anak (alangkah menyenangkannya kegiatan ini bila dilakukan bersama suami). Dan yang lebih krusial lagi, akhir pekan ini kami akan merayakan hari ulang tahun pernikahan yang pertama.

Ya, our 1st anniversary. Salahkah aku bila minta waktu lebih banyak untuk momen yang satu ini? Sudah sejak sepekan yang lalu aku menanti-nanti. Bahkan sejak Senin aku sudah berangkat kerja dengan menghitung hari. Lalu tiba-tiba aku harus melewati Jumat dan Sabtu seorang diri. Antusiasme yang biasanya menyertai Jumat pagi kini menguap sudah, sadar malam nanti nggak ada yang akan dibukakan pintu.

Dalam hati aku berkata, ”Gw bisa sendiri tanpa elo!”. Tapi kenapa di sudut hati ada rasa perih ya? Apa ini perasaan sedih lagi? Ah, bukan. Bukan perasaan sedih. Lalu apa? Kesadaran yang perlahan merembesi hati berkata bahwa itu lebih pada rasa marah dan kesal. Mau marah pada suami? Jelas tak mungkin, dia kan hanya menjalankan tugas. Mau marah pada bos atau kantor suami? Eh, emang gw siapa?? Yah, akhirnya cuma bisa pasrah saja, cuma bisa terima saja. Memangnya bisa apa lagi?

Rupanya ada juga sedikit rasa marah itu yang jadi bagian dari flashback tentang komentar Amorita yang lalu, tentang kemandirian dan ketergantungan. Rupanya aku belum bisa sepenuhnya lupa tentang itu. Padahal niatku sih mau forgotten, siapa tahu belum bisa forgiven. Eh, ini forgiven belum, forgotten juga belum. Lagi-lagi aku ingin berkata, ”Gw bisa sendiri tanpa elo!” *atau jangan-jangan kalimat ini muncul dari responku terhadap komentar Amorita ya?*

Hmmm, kayaknya aku harus menata ulang rencana weekend ini yang berantakan. Mau bersenang-senang dengan jalan-jalan dan makan-makan untuk menghibur diri... atau mengurung diri di rumah di antara tumpukan buku-buku yang belum sempat terbaca? Belum tahu sih. Yang pasti, aku mau don’t care aja ah sama kepergian suami. Nanti kalau dipikirkan malah jadi tambah marah dan kesal. Why should I care anyway? Kan ”Gw bisa sendiri tanpa elo!”.

Friday, April 11, 2008

Aku Bukan Malaikat

[Tanggapan untuk Amorita *gatal sekali aku pengen nulis ini*]

Wow! Hari yang spektakuler. Dalam satu hari aku mendapat beberapa kritik yang bertubi, datang dari orang yang berbeda. Kali ini aku ingin membahas komentar (atau masukan?) dari Amorita.

Komentar di bawah ini dia tujukan untuk postinganku yang ini.

Sebelumnya maaf jika komentar ini menyinggung perasaan Yustika.

Aku perhatikan selama ini kamu sangat tergantung pada suamimu, seolah-olah di dunia ini hanya ada suamimu. Kalau hanya ditinggal sementara kamu seperti ini, gimana kalau kamu ditinggalkan selamanya?

Bukankah lebih banyak nikmat yang Allah berikan padamu daripada sekedar cobaan kecil ini. Engkau memiliki keluarga yang baik, suami yang shalih, sudah punya rumah, sudah (akan) dikaruniai anak, ekonomi juga cukup, kurang apa sih? Banyak orang lain yang hidup di bawahmu.

Saranku, perbanyak silaturahim dengan orang lain. Masih aktif ikut pengajian kan? Insya Allah bergaul dengan orang-orang shalih akan memperkuat iman kita. Jangan sampai kesedihan ini menjadikan kita termasuk golongan ”yang berjatuhan di jalan dakwah” setelah menikah. Aku masih ingat lho, kamu dulu sering ngasih taushiyah yang menyejukkan di bukom Gamais. Sekarang? Kamu harus membuktikan bahwa kamu lebih dewasa.

Ingat nasihat seorang ustadz berikut : ”orang yang hatinya selalu bersama Allah, tidak akan merasa sedih dalam hidupnya”.

Lalu komentar yang berikut dia tujukan untuk postinganku yang ini.

(Sekali lagi) maaf ya atas komentar ini. Dari postingan-postingan terdahulu, bukankah kamu sudah cukup bahagia tinggal bersama suamimu di Cikarang dan hidup sebagai ibu rumah tangga? Kenapa sekarang kamu malah bekerja di Bandung? Aku yakin, sebelum kamu memutuskan hidup berjauhan dengan suamimu, kamu sudah mempertimbangkan masak-masak akan resiko yang akan kamu hadapi.

”Faidza ’azamta fatawakkal ’alallah” (apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah). Kamu sudah berani mengambil keputusan itu, sekarang kamu harus berani menjalaninya.

Bukankah akan menjadi kenangan yang lebih indah, jika kesedihan diikuti dengan ketegaran?

Fiuhh, tajam sekali ya komentar-komentar Amorita. Reaksi alamiah seseorang yang diberi kritik atau masukan adalah membela diri. Tapi sungguh, tanggapan ini kutulis bukan untuk membela diri, melainkan semata-mata untuk menjelaskan posisiku. Agar Amorita --atau siapapun yang membaca-- tidak men-judge sekehendak mereka. Karena mereka kan tidak berada di posisiku, tidak tahu secara persis apa yang kurasakan. By the way, sudah sejak bertahun-tahun yang lalu aku mencoba untuk tidak lagi men-judge orang sekehendak persepsiku, karena lewat sebuah kesempatan aku disadarkan bahwa yang berhak jadi hakim itu hanya Allah semata.

Oke, kuakui selama ini aku mungkin terlalu banyak mengeluh. Kalau diperhatikan, sebenarnya ”keluhanku” lebih banyak berpusar pada rasa ketidakberdayaanku dalam menentukan pilihanku sendiri, dalam memutuskan sesuatu untuk hidupku... sesuai keinginan, cita-cita, dan harapanku.

Kalau sering baca blog-ku, pasti sudah tahu bahwa gambaran ideal hidupku adalah berkarir sebagai stay-at-home mom, mengabdikan sepenuh waktu untuk suami dan anak-anak. Latar belakangnya kalau mau dijelaskan bisa panjang banget, tapi salah satunya adalah untuk menitikberatkan pengasuhan dan pendidikan anak --mengingat kami jauh dari keluarga besar-- serta dari pengalaman pribadi yang merasa ada yang ”hilang” akibat kedua orang tuaku berkarir di luar rumah.

Kalau Amorita bilang aku sangat tergantung pada suami alias tidak mandiri, itu salah besar. Sejak kecil aku dididik dengan keras oleh ibuku untuk mandiri. Ini ada latar belakangnya sendiri, yaitu karena ibuku adalah sulung dari sembilan bersaudara yang kehidupan masa mudanya cukup sulit. Ditambah lagi aku kan ditinggal orang tua bekerja, jadi sejak kecil aku terbiasa mandiri, melakukan segalanya sendiri. Aku tak pernah tergantung pada orang. Semua hal kulakukan sendiri. Bahkan untuk curhat pada teman pun jarang kulakukan, semata-mata karena aku terbiasa menyimpan semuanya sendirian.

Nah, semasa kuliah aku mulai kena getahnya. Beban yang kurasakan ketika kuliah --masih belum tahu apa itu? Yaa, sebut saja ber-IP satu koma selama tiga semester berturut-turut dan sempat dapat surat peringatan soal tenggang waktu DO-- dan kebiasaanku untuk menyimpan semua sendirian membuatku terkena depresi berat. Sayang aku tidak punya nyali untuk menemui psikolog atau psikiater, meskipun waktu itu aku sempat mencari. Alhamdulillah aku tidak sampai membutuhkan obat antidepresan untuk bangkit dari masa-masa gelap itu.

Jadi ya, aku memang punya bakat depresi :D Pernah dengar soal bipolar disorder? Kalau belum, cari tahu ya. Aku memang nggak separah itu sih. Poin yang ingin kusampaikan adalah, kamu tidak bisa membuat orang depresi merasa gembira semudah membalikkan telapak tangan. Kamu tidak bisa berkata, ”Ayo, ceria dong!” sambil berharap mereka langsung bahagia. Sebab depresi tidak bisa disembuhkan semudah dan secepat itu. Kamu tidak akan bisa paham sebelum kamu bisa menyelami perasaan orang-orang yang depresi.

Eh, ini bahas apa sih kok jadi ke sini. Balik lagi ke soal menentukan pilihan hidupku sendiri, aku nggak bisa memungkiri bahwa aku nggak punya pilihan. Yah, bisa saja sih aku menolak tawaran bekerja di Bandung. Kamu bisa bilang begitu. Tapi kan kamu nggak tahu seberapa besar harapan suamiku agar aku bekerja, sama besarnya seperti harapan mertuaku agar aku bekerja. Kamu nggak tahu karena kamu nggak ada di posisiku, nggak merasakan tiap saat disuruh mencari lowongan kerja, tes dan wawancara ke sana kemari sampai capek. Aku bisa saja berkata tidak pada tawaran pekerjaan yang datang, tapi apa kamu tahu setelah itu aku harus berhadapan dengan kekecewaan suami dan kesedihan karena membuyarkan impiannya untuk punya istri yang bekerja? Kamu nggak tahu itu kan?

Kamu bilang, ”Aku yakin, sebelum kamu memutuskan hidup berjauhan dengan suamimu, kamu sudah mempertimbangkan masak-masak akan resiko yang akan kamu hadapi.”. Hal itu nggak sepenuhnya benar. Sampai saat ini pun aku merasa masih belum siap tinggal sendiri dan kelak mengasuh anak tanpa pendampingan suami. Saat aku menjejakkan kaki di Bandung, aku hanya berbekal kenekatan dan ridha suami. Aku mencintai suamiku. Ketaatanku padanya terbingkai oleh kecintaanku pada Allah dan niat untuk beribadah pada-Nya. Aku rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan suamiku, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan perasaanku. Itu namanya cinta, just in case kamu nggak tahu :p

Satu lagi, kamu juga nggak tahu kan kalau wanita hamil itu perasaannya berubah menjadi sangat sensitif? Kamu mungkin nggak tahu karena kamu belum pernah hamil *baca-baca buku tentang kehamilan juga dong, jangan buku soal harokah melulu, biar nanti kalau aku kena baby blues... aku nggak disalahkan lagi*. Secara alami, wanita hamil --yang paling mandiri sekalipun-- pasti menginginkan perhatian dan belaian suami. Saat-saat hamil adalah saat-saat butuh dukungan. Beberapa orang teman yang pernah hamil berkata kepadaku, ”Pasti berat jauh dari suami ketika hamil begitu.”. Nah lho, yang pernah hamil aja bilang begitu sama aku.

Depresi pada ibu yang sedang mengandung disebabkan banyak hal. Pertama, adanya perubahan hormon yang menpengaruhi mood ibu secara keseluruhan sehingga si ibu sering merasa kesal, jenuh, atau sedih. Ibu akan terus-menerus mengkhawatirkan keadaan anak dan ini akan membuat dia merasa tertekan. Depresi dapat juga dialami setelah sang ibu melahirkan bayinya. Di Amerika Serikat, sekitar 30 persen dari ibu yang baru saja melahirkan diduga mengalami depresi pascamelahirkan.

Itulah sebabnya, saat ini, peran suami terhadap ibu yang sedang mengandung dan setelah melahirkan amat besar. Ibu hamil harus mendapatkan dukungan yang sebesar-besarnya dari suami. Dukungan suami ini bisa ditunjukkan dengan berbagai cara, seperti memberi ketenangan kepada istri, membantu sebagian pekerjaan istri atau bahkan sekadar memberi pijatan ringan bila istri merasa pegal. Diharapkan, dengan dukungan total dari suami, istri dapat melewati masa keamilannya dengan perasaan senang dan jauh dari depresi.

Sumber: dari sini.

Karena aku selalu nggak nyaman curhat secara verbal sama orang, maka biasanya segala curhat kutulis dalam blog. Jadi kalau nggak suka atau jengah baca curhatku yang (mungkin menurutmu) berisi keluhan, ya nggak usah baca. Gitu aja kok repot.

Jadi begitu ya. Aku bukan malaikat. Aku hanya perempuan biasa yang sedang berjuang melawan (gejala) depresi (lagi!) dan sensitivitas menjadi ibu hamil. Aku hanya perempuan biasa yang sedang beradaptasi dengan jalan hidup yang (mungkin) melenceng dari perkiraanku. Sekali lagi, tulisan ini bukan justifikasi. Hanya berharap semoga tulisan ini menjadi pencerahan bagi yang tidak mengerti.

Kritik

Habis baca postingan Ilma yang ini, ternyata hari ini giliranku dikritik. Alhamdulillah cara ngritiknya elegan.

Ceritanya, tadi seperti biasa aku ke suatu ruangan untuk ikut Nana memperbaiki komputer. Entah kenapa --perasaan, aku biasa-biasa aja deh-- di ruangan itu ada yang sedikit sensi *hahaha* lalu mengkritik aku tentang sesuatu. Meskipun aku tahu bahwa kedewasaan seseorang bisa dilihat dari caranya menerima kritik, mau tak mau aku protes. Okelah, mungkin di satu sisi aku salah. Dan okelah, mungkin aku sedikit kekanakan menghadapi kritik itu. Masalahnya, orang tersebut mengkritikku tentang sesuatu yang dia juga nggak sempurna menjalankannya. Oalahh, mbok ya kalau ngritik itu lihat diri sendiri dulu, instropeksi dulu.

Kritik itu tadi cukup membuatku merenung. Bagaimanapun juga, terima kasih telah mengkritik. Cuma... sekarang aku jadi rada males dekat-dekat ke ruangan itu untuk sementara waktu, takut jadi terluka lagi :D

Kesimpulan: lebih enak berinteraksi dengan rekan laki-laki daripada perempuan, rekan laki-laki itu kalau mengkritik bisa objektif...

Romantis

Bagi kebanyakan pengantin yang usia pernikahannya belum dua tahun, romantis itu wajar. Aku selalu salut dengan pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah dan masih saja romantis.

Pak Armein, seorang dosen yang kukagumi --meskipun beliau cuma mengajarku satu mata kuliah-- baru-baru ini menulis di blog tentang keromantisannya dengan istrinya. Beliau kukagumi karena selalu menanamkan nilai-nilai kepada anak didiknya sehingga membuatku merasa mendapatkan ”sesuatu” yang lebih selain materi kuliah --yang sebenarnya tidak kusukai dan tidak kukuasai. Beliau sudah menikah selama 20 tahun, dan tetap saja romantis. Simak dua tulisan yang beliau tulis berikut ini.

Date During Working Hour

April 4, 2008

Kamis kemarin saya harus membuat decision. Ada dua undangan pada jam 10:00-12:00. Mana yang mau dipilih .Satu dari tim akreditasi, dipimpin pak Dwi. Satu lagi dari Ina, ingin ngobrol sambil makan. Setelah saya timbang-timbang, saya minta maaf pada pak Dwi. Saya pilih date dengan Ina.

Saya parkir di Bank BNI Tamansari, dan bertemu Ina untuk urusan buku tabungan dan ATM. Kemudian kami berdua naik sepeda motor. Pergi makan mie pangsit di You, dekat RS Borromeous.

Saya tidak banyak bicara. Menikmati wajahnya yang cantik. Bersyukur menang persaingan merebut hatinya. Bersyukur I have spent 20 years of my life with this so precious beautiful lady. Sharing all ups and downs.

Saya sangat sibuk. Jam 6 pagi sudah berangkat dari rumah. Tadi malam saja pulang hampir jam 10 malam, karena ada persiapan disertasi dua mahasiswa S3 saya. Baru belakangan ini saya mulai menolak banyak permintaan rapat sana sini.

I spent too much time in ITB. Bukannya mengeluh, karena saya senang sekali berada di kampus. Di rumah pun Ina sibuk dengan empat anak.

Jadi, sekali-sekali boleh ya saya bolos dari kerja selama satu jam untuk menemui dan makan bakso dengan ibu dari anak-anak saya. I can have her for my self.

Ini satu lagi tulisan beliau.

Kata-Kata Cinta

April 9, 2008

Kata-kata cinta sering dibayangkan yang elegan, romantis, kadang-kadang bombastis. Diucapkan di taman bunga, di meja berlilin candle light, atau di pinggir pantai. Tapi tidak ada yang mengalahkan yang saya dengar tadi malam menjelang tidur.

Seperti biasa sebelum terlelap, Ina dan saya ngobrol macam-macam tentang hari ini, tentang anak-anak, tentang rencana besok, tentang cerita lucu. Muka kita sudah kucel, ngantuk, dan siap terlelap.

Tiba-tiba dari balik bantal Ina menatap saya dan bilang, “I want to grow old with you…”

Saya tertawa sebentar, celingak celinguk supaya nggak kelihatan mata saya yang mendadak memerah, kemudian dengan suara parau cuma mampu bilang “Saya juga…”

I carried those words in my dreams last night, I am today, and I will in days to come….

Sebentar lagi aku dan suami akan merayakan 1st anniversary. Terlepas dari seperti apa bentuk perayaannya, yang jelas kami sudah hampir setahun berumah tangga. Alhamdulillah. Benar-benar tak terasa. Betapa inginnya kelak bila anak-anak sudah besar, aku akan mengenang hari-hari yang telah lalu dengan tersenyum. Dan tentu saja... masih bisa saling menjaga keromantisan dengan suami, seperti Pak Armein dan istrinya.

”Ada Uang Kecil?”

Menurutku ini pertanyaan bodoh yang sering dilontarkan oleh para kasir. Let’s see what I’m thinking about it.

1. Seandainya kita memang PUNYA uang kecil

Jelas-jelas kita tahu bahwa kita punya uang kecil, tapi kita memilih membayar dengan uang yang nominalnya besar. Maksud kita mah emang mau nukar uang.

2. Seandainya kita TIDAK PUNYA uang kecil

Ya udah selesai kan masalahnya, toh kita emang nggak punya uang kecil.

Sebenarnya para kasir itu mikir nggak sih, hehehe. Lagipula mereka itu kasir kan, buat apa uang sekotak di hadapannya itu :p

Wednesday, April 09, 2008

Perbincangan Dengan si Kecil

Sore itu, selepas kerja, aku berbaring di kasur untuk meluruskan punggung yang akhir-akhir ini sering sakit. Si kecil di dalam perut menendang-nendang terus.

Aku: ”Kenapa, Nak? Mau matur apa?”

(Si kecil masih menendang-nendang.)

Aku: ”Kangen sama Ayah ya, Nak? Bunda juga kangen. Kita telepon Ayah yuk.”

(Aku beranjak mengambil HP dan menelepon suamiku.)

Suamiku: ”Ada apa, Yang?”

Aku: ”Anakmu kangen nih. Dari tadi nendang-nendang terus. Bundanya juga kangen. Pengen ngobrol sama anakmu nggak?”

Suamiku: ”Boleh deh.”

(Kudekatkan HP ke arah perut. Samar-samar di ujung sana kudengar suamiku mengajak ngobrol si kecil. Selintas kutangkap potongan kalimat ”... kangen ya?”. Sementara itu, si kecil masih menendang-nendang.)

Aku: ”Udah belum, Yang?”

Suamiku: ”Udah. Aku baru mau pulang kantor nih. Nanti aku telepon lagi ya.”

Aku: ”Oke deh.”

Suamiku: ”I love you, Yang.”

Aku: ”I love you too.”

Suamiku: ”Assalamu’alaikum.”

Aku: ”Walaikumsalam.”

Sunday, April 06, 2008

Sepi

Sudah dua bulan aku menjalani hidup di Bandung. Sudah dua bulan... dan aku masih saja hancur berantakan seperti ini.

Siang tadi, hampir dua jam aku menangis di pelukan suami. Setelah pekan yang berat minggu lalu, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya berlama-lama. Tapi apa daya, malam minggu kemarin aku ada undangan acara bersama teman-teman kuliah. Suamiku yang baik itu tentu menganjurkanku pergi --meskipun aku tahu dia sebenarnya ingin bersamaku-- agar aku punya waktu hang out bersama teman-teman.

Lebih parah lagi, waktu kami semakin berkurang karena suamiku harus pergi ke Jakarta Ahad sebelum dhuhur untuk bertolak ke Batam. Biasanya dia pergi dari Bandung setiap Senin pagi. Alhasil, aku merasa sedih sekali ketika dia harus pergi.

Dari seluruh orang di dunia ini, hanya suamiku-lah orang yang kuharap bisa benar-benar berada di sisiku. Sekeras apapun dia berusaha menghadirkan kawan buatku, entah itu pembantu atau mertua, hal itu tidak ada artinya dibanding kehadirannya. Siang tadi aku merasa sangat putus asa. Dia terus memelukku, menciumku, membelaiku, sambil berkata dia menyayangiku. Dia membujukku untuk berhenti menangis karena khawatir bayi kami terpengaruh.

Setiap hari aku selalu berusaha menghadirkan afirmasi:

I’ll be okay, I’ll be just fine

I’ll be okay, I’ll be just fine

Entah ke mana perginya semua itu. Melepasnya pergi setiap minggu seharusnya sudah menjadi kebiasaan. Tapi hari ini terasa begitu berat. Aku merasa masih harus menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Aku merasa seharusnya dia tidak pergi secepat itu.

Happy parents make happy children. Tapi susah sekali merasa bahagia akhir-akhir ini. Ketika suamiku pergi siang tadi, aku mengiringinya dengan linangan air mata. Bahkan detik ini pun air mata ini belum juga kering.

Tiba-tiba aku merasa sangat sepi...

Friday, April 04, 2008

Baru!

Mau launching blog baru ah

Blog baru ini insya Allah dikhususkan untuk berbagi pengalaman-menjadi-ibu. Sebenarnya sekarang masih berupa kumpulan artikel sih *tentunya artikel yang punya relevansi dengan diriku*. Kebanyakan aku ambil dari sini. Ke depannya pengen aku isi dengan pengalaman pribadi, tapi nanti dulu ya... sekarang aku kan masih mom-to-be

Alamatnya ada di http://yustika.wordpress.com. Sama yang ini berarti aku punya tiga blog