Thursday, March 27, 2008

Pengecualian

Dalam hidup ini, kita tentu pernah menghadapi pengecualian-pengecualian. Ada yang enak, ada yang tidak enak. Sebagai ibu hamil, aku pernah mengalami pengecualian yang enak :) karena diistimewakan. Yah, misalnya saja ketika ada seseorang yang melihat perut gendutku lalu menawarkan tempat duduk. Meskipun pada bulan-bulan awal kehamilan, saat perutku belum gendut, aku tak mendapat perlakuan istimewa ini karena orang belum ngeh kalau aku hamil. Padahal bulan-bulan awal itu justru riskan lho, kandungan belum kuat, sementara waktu itu aku masih sibuk bergelantungan di bis tanpa seorang pun menawarkan tempat duduk. Tidak juga para lelaki yang melihatku. Huh, katanya gentlemen... katanya ladies first... ternyata kaum lelaki kita pada nggak peka. Tak perlu tahu bahwa aku hamil, kalau melihat perempuan berdiri di bis atau di tempat umum lainnya, harusnya mereka menawarkan tempat duduk dong.

Kembali ke hal pengecualian, suatu hari aku mengalami pengecualian yang tidak enak :( Hari itu di kantor habis makan-makan, lalu makanannya sisa banyak. Teman-teman yang masih muda-muda, karena dianggap anak kost, pada dibekali makanan untuk dibawa pulang. Nah, dalam hal ini aku masuk pengecualian. Apa karena statusku sudah menikah jadi dianggap bukan anak kost? Padahal aku kan tinggal sendirian di kontrakan. Padahal tiap pulang kerja aku juga beli makan di warung buat dibungkus pulang :(

Oke, oke. Ini bukan masalah diberi makanan atau tidak. Don’t get me wrong. Ini hanya sekedar curhat, bahwa ketika kita dikecualikan *dalam hal yang tidak mengenakkan*, kita lantas berpikir bahwa kita ”beda”, kita ”tidak dianggap”, atau apalah sebutannya. Dan tentu saja, perasaan ”tidak dianggap” ini sangat tidak nyaman.

Yah, semoga saja perasaanku salah. Mungkin ini bawaan ibu hamil yang perasaannya jadi terlalu sensitif >_<

Asing

Sore itu, sepulang kerja, aku bertemu denganmu di angkot. Sapaanmu membuka pertemuan. Lalu kita berbasa-basi menanyakan kabar dan tempat tinggal. Hanya itu. Seterusnya kita saling diam.

Teman, apa yang terjadi di antara kita? Bukankah dulu kita pernah menghabiskan waktu bersama, tergelak bersama, berdiskusi bersama? Apakah waktu yang telah terbang mengekalkan jarak di antara kita? Atau selama ini aku memang bukan siapa-siapa bagimu? Tidak seperti teman kita yang lain itu, yang senantiasa kauajak bercakap dan berdiskusi sampai mulut berbusa-busa.

Sejujurnya, Teman... kunjungan rutinku ke blog-mu adalah salah satu caraku melepas rindu dan menilik kabarmu. Ajakan bertemu itu juga salah satu cara lainku untuk mengatakan bahwa aku menyayangimu. Tapi aku paham kalau ajakanku tak pernah bersambut karena sejuta kesibukanmu. Yah, mungkin hanya aku yang terlalu naif... karena menganggap diriku layak menempati tempat istimewa di hatimu.

”Ibu Sebagai...”

Ada tulisan menarik dari Mbak Agnes. Ini kukutip sebagian.

“Jangan kebanyakan jadi ‘ibu sebagai’!” Kata-kata itu begitu mengusik hati dan tak mau lepas dari ingatanku. “Sudah banyak Ibu lihat contoh, ibu-ibu yang sukses di luaran tapi anak-anaknya nggak beres di dalam. Banyak pula nama-nama Kyai dan ustad-ustadzah, yang nggak perlu lah Ibu sebut namanya, mereka sukses diluaran, tapi keluarganya hancur di dalam,” lanjut Ibu Elly Risman saat memberikan pesan terakhir untuk panitia workshop Salamaa tanggal 3 Juni 2007 lalu.

“‘Ibu sebagai’? Maksudnya?” Pikirku dalam hati. Oh maksudnya itu lho..misalnya ibu Anu yang menjabat sebagai ketua A, sebagai B, sebagai C, sebagai D dan sederet ‘sebagai’ lainnya, alias ibu yang banyak memegang tanggungjawab selain jadi ibu dan istri. “Jadi ibu dan istri saja sudah capek, apalagi kalau harus bekerja, capeknya luar biasa lho! Anak dititip ke pesantren? Diasuh orang lain? Lalu mau anak-anak seperti apa yang dihasilkan? Karena itu ibu selalu menganjurkan keluarga ibu, kalau anak belum 7 tahun, lebih baik dirumah dulu deh. Ibu juga dulu sering ditawari jadi ini jadi itu. Tapi lalu ibu berpikir, apa sih yang kita cari di dunia ini?” Begitu kira-kira ucapan ibu Elly selanjutnya.

...... ibu Elly selalu berpesan, mengasuh anak itu harus dengan 3 B, Bersungguh-sungguh, Berencana dan Bersengaja! Beliau bahkan selalu membuat goal dan objektif per tiga bulan, per- enam bulan atau per tahun, dalam mengasuh anak-anaknya. Karena urusan pengasuhan anak bukan main-main!

...... pekerjaan pengasuhan memang melelahkan bukan hanya fisik tapi juga jiwa. Namun aku sungguh penasaran. Kenapa ya? Kenapa aku dan kebanyakan orang pada umumnya lebih suka pada pekerjaan di luar sana dibandingkan mengasuh anak? Apalagi mengasuh dengan 3 B. Ah aku yakin orangtua yang ber 3 B dalam mengasuh anaknya dijaman sekarang ini sungguh langka. Bukankah kita umumnya hanya berkejar-kejaran dengan pekerjaan, jabatan, masa depan, harta dan entah apa?

Anak-anak kita biarkan diasuh oleh media, harta, tetangga, atau siapapun dia. Yang jelas bukan oleh kita. Waktu untuk anak-anak kita? Twenty minutes parents! begitu kata penelitian di USA. Menurut penelitian tersebut kebanyakan orangtua hanya menyediakan waktu dua puluh menit dalam sehari untuk anak-anaknya. Kita memang ada di pagi hari bersama anak kita. Pulang sekolah, makan malam, menjelang tidur, mungkin kita juga ada. Tapii hati kita tidak bersama mereka! Wajah mengkerut, ingatan pekerjaan di kepala, bentak sana bentak sini, dan selalu dengan tergesa berkata,”Ayo cepat, nanti terlambat. Makannya lama amat! Ayo tidur! Ayo sholat! Ayo beresin mainan!” dan pecutan kata-kata lainnya. Dan kalau anak-anak ingin bermain bersama kita,”Mama capek!” Itu yang kerap kita ucapkan bukan?

...... “Karena orangtua kita tidak pernah mempersiapkan kita menjadi ibu dan ayah!” Itu jawabnya! Ibu Elly menjawab pertanyaanku itu saat aku bersamanya seminggu. “Dari dulu, kita tidak pernah disiapkan untuk menjadi orangtua. Akademik..akademik dan akademik, itu saja yang selalu jadi tujuan. Jadi insinyur, dokter, pengacara..dan lain-lain pekerjaan bergengsi lainnya. Itu lah yang dimau kebanyakan orangtua kita dulu. Apakah pernah kita belajar bagaimana menjadi ibu? Apakah pernah ditanamkan dalam diri-diri kita bahwa suatu saat nanti kita harus menjadi ibu dan ayah? Apakah pernah kita diberi bekal untuk menjadi ibu dan ayah? Tidak bukan? Padahal menjadi orangtua itu tidak mudah. Padahal keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan sangat penting. Padahal ayah dan ibu harus menjadi partnership dalam pengasuhan. Apakah kita tahu semua itu? Saya dengan Neno (Neno Warisman-red) bahkan berjanji, bahwa kami akan berusaha semampu kami hingga mati untuk membangun anak-anak laki-laki generasi kini, agar mereka siap menjadi seorang ayah!” Begitu kira-kira penuturan ibu Elly dalam obrolan-obrolan kami selanjutnya.

...... Hmm…lalu apakah artinya aku tak boleh bekerja dan beraktivitas di luar sana? Oh tidak, bukan begitu maksudnya. “Silahkan saja, tapi kalau sudah siap mengambil tanggungjawab lain, bagaimanapun, anak tetap amanah kita. Pengasuhan anak tetap jadi prioritas dan artinya kita tidak boleh mengeluh capek! Siapa suruh punya anak?” begitu kira-kira pesan bu Elly lagi. Di sela-sela obrolannya dengan suamiku, bu Elly malah bilang,” Di rumah saya, haram hukumnya bilang capek! Karena anak saya sudah besar-besar, sekarang, ada anak saudara yang saya asuh. Tanpa ganti baju sepulang kerja, saya bahkan mendahulukan mereka. Ngobrol dengan mereka, atau menemani mereka bikin Pe-er.” Bayangkan, bukan anak sendiri saja betul-betul diasuh dengan 3 B oleh bu Elly. Sedangkan aku? Hmm…

Jadi untuk orangtua yang bekerja, bagaimana tipsnya agar anak tetap dalam ‘kendali’ kita? “Quality time yang benar bukan menyediakan 20 menit sehari untuk anak, tapi terpotong-potong. Kalaupun memilih bekerja, minimal sekali, sediakan dua puluh menit sehari tapi full betul-betul untuk anak. Itu lah yang disebut quality time,” kata bu Elly memberikan tipsnya. “Pulang kerja, muka jangan kenceng. Lakukan sesuatu bukan ‘bersama-sama’ tapi ‘bersama’ anak (jangan melakukan yang lain). Nggak bisa kita bilang,”Mama capek!” saat anak sedang membutuhkan kita. Ketika bersama anak, kosongkan pikiran, buang semua timbunan pekerjaan yang masih menggelayut di kepala, dan lakukan sesuatu dengan anak dengan sepenuh hati.”

...... Namun yang terpenting lagi, ketika nanti Allah bertanya,”amanahKu, telah kau asuh seperti apa amanahKu?” Mampukah aku dengan lancar menjawabnya? Ataukah mulutku hanya bisa terbata-bata, kelu bahkan terkunci kaku? Kalau menjadi ibu dan istri saja sesungguhnya aku belum mampu, lalu sanggupkah aku menjadi ‘ibu sebagai’ lainnya? Argh… rasanya harus kutata ulang lagi hidupku kini!

Nahhh, makanya dari dulu aku selalu pengen jadi stay-at-home mom saja. Bukan tanpa alasan, tapi semata-mata demi pengasuhan anak. Semoga tulisan ini membuka mata kita semua *terutama suamiku :p*.

Wednesday, March 19, 2008

Maka Menikahlah

”Saya senang punya teman Mbak Yus, karena Mbak Yus sudah menikah,” kalimat ini terlontar dari mulut laki-laki itu di suatu sore. Kalimat yang aneh, bukan? Biasanya orang senang berteman dengan kita karena kita baik, ramah, sopan, atau yang lain. Tapi kalau karena kita sudah menikah? Hmm, pasti jarang yang berkata demikian.

Dia melanjutkan lagi. Katanya berteman dengan lawan jenis yang sudah menikah itu nyaman dan aman. Maksudnya: lebih bebas berinteraksi --dengan tetap menjaga adab tentunya-- karena tidak khawatir akan timbul fitnah. Oh ya, aku langsung sepakat.

Menikah bisa memagari kita dari perhatian yang berlebihan dari teman lawan jenis, rasa ge-er yang ditimbulkannya, keinginan untuk tebar pesona, atau kekhawatiran tentang kebaikan kita akan disalahartikan oleh teman lawan jenis. Menikah bisa membuat kita fokus menata hati dan menata hidup. Setidaknya ini yang kurasakan. Alhamdulillah ternyata rasa nyaman dan aman berinteraksi dengan teman lawan jenis ini juga dirasakan oleh temanku itu. Aku baru ngeh setelah dia bilang begitu.

Yah, bagaimanapun juga menikah adalah ibadah di mata Allah. Menikah adalah sunnah yang dicintai Rasulullah. Kalaupun ada hal-hal baik yang mengikutinya, semoga itu adalah berkah dan hikmah menikah. Maka menikahlah... what are you waiting for??

Suamiku Tersayang


”...aku semakin mencintai istriku,” kalimat itu dibisikkannya pelan ketika membangunkan aku dari tidur siang Ahad lalu. Mataku langsung terbuka lebar. Aku tersenyum takjub. Tumben amat dia bilang begitu. Soalnya dia ini tipe orang yang mengekspresikan perasaan dengan perbuatan, bukan dengan kata-kata.

Spontan aku berkata, ”Kok tumben bilang begitu, Yang?”

Hmm, ternyata jawabannya simpel. Dia bilang, ”Karena istriku mau berjuang.”

Oh, ternyata yang dimaksudnya adalah karena aku mau berjuang mengais nafkah di Bandung, menjalani kehidupan berpisah dalam kondisi hamil, sesuai keinginannya tentang aku sebagai wanita bekerja.

Hmm, ternyata taat pada suami itu berbuah keridhaannya pada kita ya. Jadi senang mendengarnya. Seolah peluh dan air mata yang menetes selama ini terbasuh sudah oleh segarnya telaga keridhaan suami. Semoga hal ini juga bernilai ibadah di mata Allah.

*Selamat ulang tahun untukmu juga, Sayang. Semoga usiamu barokah, istiqomah di jalan Allah, bahagia dunia akhirat, selalu sukses, tambah sholeh, jadi imam terbaik buat keluarga. I love you more and more.*

Gendut


Kehamilanku udah lewat enam bulan. Sekarang aku makin gendut :) Tapi kok orang-orang banyak yang bilang, dengan usia kehamilan segini, aku nggak gendut-gendut amat yak? Dulu pas usia kehamilan di bawah lima bulan aku sempat khawatir, jangan-jangan bayiku kurang beratnya, mengingat orang-orang sering banget bilang, ”Kok kecil?” atau ”Kok nggak kelihatan?”

Tapi kata dokter semua normal. Perkembangan si dedek sesuai usianya. Ya sudah, alhamdulillah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sejauh ini kehamilanku berjalan lancar dan menyenangkan. Memang ada masanya mual dan muntah rada parah, yaitu pada tiga bulan pertama. Alhamdulillah waktu itu aku nggak sampai nggak doyan makan. Sekarang nafsu makanku menggila. Porsi makan langsung membesar. Itupun masih ditambah keinginan untuk makan cemilan di luar waktu makan. Jadilah aku gendut seperti sekarang :p Yang rada kurang itu makan buahnya. Soalnya kantin kantor nggak pernah menyediakan buah sih. Kalaupun ada, buahnya pisang lagi... pisang lagi...

Ah, tapi demi si dedek, jadi gendut pun tak masalah asalkan dia sehat. Nanti habis persalinan aku mau senam aerobik lagi. Biar angka idealku 44 kg tercapai lagi *eh, tapi mungkin nggak yak :p*.

Ternyata menjadi ibu hamil itu sangat menyenangkan. Setiap hari merasakan keajaiban kehidupan dan sensasi penantian yang membahagiakan. Maturnuwun Gusti Allah... karena mengizinkanku merasakan kebahagiaan kehamilan ini.

26 di 15 Maret

”Ass. Selamat Ulang Tahun ke 26 (betul ngga ya?!). Semoga panjang umur, semakin dekat sama Allah dan penuh barokah dunyan wa ukhron... amien.” (Mbak Ida, 14/03/2008, 07:49)

”Yus, happy birthday ya. Semoga panjang umur, sehat, bahagia lahir dan batin, memiliki keluarga yang sakinah... Love you full.” (Iwuk, 15/03/2008, 00:21)

”I wish that Allah would hold you tight, not just to make you feel alright, but for you to have all the best things in LIFE! Happy birthday Bunda Yustika...” (Citra, 15/03/2008, 00:35)

”Asw, Yustika met milad ya, semoga waktu yang dijalani senantiasa berada dalam naungan kasih dan petunjuk-Nya.” (Yuti, 15/03/2008, 04:53)

”Mbakyu-ku, happy birthday to you, semoga panjang umur, sehat selalu, dan mendapat apa yang terbaik buat situ! Makin tua, makin sabar yo... huahaha... titip salam nggo Mas Catur dan ponakanku yo...” (Yesti, 15/03/2008, 05:05)

”Ass Yustika, apa kabar? Happy birthday ya! Semoga senantiasa dilimpahi rizki, diberikan umur panjang dan barokah...” (Diyah, 15/03/2008, 06:25)

”Barakallaahulak... Met milad ke-26 ya Mbak. Semoga makin mencintai dan dicintai Allah. Love you coz Allah.” (Widya Arrum, 15/03/2008, 06:28)

”Yus... happy birthday 26th. Semoga senantiasa dilindungi Allah dan bahagia lahir batin. Amin. Salam buat suami dan si kecil di perutmu ya...” (Ilma, 15/03/2008, 08:26)

”Happy birthday, Yus! Semoga menjadi anak yang sholeh dan berbakti dan proses melahirkannya lancar... Selalu berbahagia... mudah rejeki... dan istiqomah... the most difficult thing to do.” (Fatimah, 15/03/2008, 16:13)

”Eh Yustika ulang tahun... Met ultah ya... Moga panjang umur, tambah iman taqwa, rukun terus sama suami, tambah bahagia pokoke. Met menanti buah hati lahir ya...” (Icha, 15/03/2008,19:53)

”Ass... met milad ya, semoga umurmu barokah, dan selalu dilindungi Allah...” (Erti, 15/03/2008, 21:34)

”...happy belated milad juga Mbak... Semoga sehat selalu menanti kehadiran si kecil dan senantiasa dalam lindungan serta keberkahan Allah.” (Ika, 16/03/2008, 09:14)

”Met ultah Mbak Ika... Semoga panjang umur dan sehat selalu... Cium jauh dari ayah dan bunda dan aku yo...” (Rere dan Bulik Wulan, 16/03/2008, 10:36)

”Met milad ya Yus, moga usia yang telah berlalu diberkahi Allah dan yang tersisa dikaruniai kenikmatan untuk senantiasa dalam rahmat dan ridho-Nya. Tetap ikhlas, sabar, dan istiqomah ya... sori telat 1 hari.” (Ika Mulatsih, 16/03/2008, 10:40)

”Selamat ultah ke-26 (sori telat!). Semoga banyak barokah di umur ini... Keluarga rukun, rejeki lancar, dst...” (Naning, 17/03/2008, 05:14)

”Hai Yustika, barusan mengulang hari ya? Maaf ya telat. Jadi ultah pertama setelah nikah kan ya. Selamat Yus!” (Zaki, 17/03/2008, 09:25)

*Tak lupa terima kasih juga buat Mami, Mas Didik, Mbak Mita, Mbak Titik, Tommy, Fani, dan teman-teman lain yang ikut mengirimkan doa*

Monday, March 10, 2008

Kado

When you want some thing, all the universe conspires in helping you to achieve it.” (Paulo Coelho)

Hari-hari menjelang usiaku yang ke-26…

Akhir pekan lalu suamiku menanyakan kado apa yang ingin kudapatkan. Tahun-tahun sebelumnya aku bisa menjawabnya dengan pasti: buku, satu set sarung bantal sofa, dll. Tapi tahun ini aku cuma menggeleng pelan. Aku ingin apa ya? Baju hamil, buku (lagi), bibit bunga untuk ditanam di taman, atau apa? Entahlah… rasanya kok nggak ada yang spesifik.

Hmmm… sebenarnya ada sih. Aku ingin serumah lagi dengan suamiku dan bersama-sama mengasuh buah hati ini, lalu aku akan bisa merasakan lagi senyum mentari yang diberikannya setiap pagi, kecupan hangat yang diberikannya setiap malam sebelum tidur, pijatan pelepas penat setiap kali sakit punggungku kambuh, juga segala peluk dan belai peneduh gundah... kapanpun aku butuh. That’s my biggest wish. Akan jadi kado terindah kalau itu bisa terwujud.

Usia seperempat abad sebentar lagi berakhir, Yus. Be strong. Be tough. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Terima Kasih, Sayang…

Badanku penat sekali setiba di Cikarang siang itu. Aku langsung melongo melihat taman depan yang dipenuhi ilalang dan rumput liar setinggi betis. Suamiku cuma nyengir. “Jangan lebih kaget kalau melihat ruangan di dalam,” katanya sambil membukakan pintu.

Masya Allah… mau tak mau aku geleng-geleng. Kok bisa dia tinggal di rumah yang keadaannya seperti itu. Lantai kotor sekali. Baju-baju bersih yang belum disetrika terbagi atas beberapa tumpukan, diletakkan secara sembarangan di atas kursi ruang tamu dan di atas lantai. Dapur juga tampak berdebu, sementara tumpukan baju kotor di sudut ruang belakang menanti untuk dicuci. “Minggu ini nggak ada waktu buat bersih-bersih, Sayang,” katanya dengan nada meminta maaf.

Aku yang sudah teramat letih hanya bisa diam. Perasaanku bercampur antara geli, sebal, dan terenyuh. Geli membayangkan dia bersih-bersih rumah sendirian, sesuatu yang teramat jarang dia lakukan semasa tinggal berdua denganku. Sebal karena membayangkan hari itu akan aku habiskan untuk bersih-bersih rumah yang sedemikian kotor. Terenyuh karena aku merasa tak berdaya mengurusnya dan melakukan hal-hal yang seharusnya aku lakukan untuknya, akibat jarak yang terpisah Bandung-Jakarta.

Aku beranjak ke kamar untuk merebahkan diri, berkata sambil lalu, “Akan aku bersihkan, tapi nanti. Sekarang aku mau tidur dulu.”

Tak berapa lama kemudian, dengan kepala masih di atas bantal, aku mendengar suamiku membuat suara-suara berisik. Oh, ternyata dia sedang mengelap, menyapu, dan mengepel. Juga merendam cucian di ruang belakang. Sekaligus mengawasi tukang kebun keliling yang sudah dipanggilnya untuk merapikan taman. Merasa tidurku terganggu, aku berseru kesal, “Nanti aku bersihin! Mas nggak usah repot-repot kayak gitu!”

Tapi suamiku tetap meneruskan kegiatannya. Sampai akhirnya ketika aku bangun, aku mendapati rumah dalam keadaan bersih dan mengkilat. Semua sampah sudah dibuang. Bahkan hampir semua perkakas dapur dicucinya sampai bersih. Aku nggak tahu harus bilang apa.

Malamnya, aku memintanya untuk jujur kenapa dia ngotot bersih-bersih sampai capek seperti itu. Alasannya ialah karena dia melihat mukaku yang sebal siang harinya, sehingga dia merasa bersalah dan merasa harus bersih-bersih untuk membuatku nyaman berada di rumah *dia tahu aku sangat sensitif terhadap sesuatu yang kotor*. “Habisnya Sayang udah bete duluan, begitu dateng langsung tidur, males ngapa-ngapain gara-gara rumah kotor,” begitu katanya.

Seketika itu juga aku merasa sangat bersalah. Memang tadinya aku sebal, tapi langkahku untuk beranjak tidur itu memang lebih disebabkan karena penat dan letih. Aku sama sekali tidak berniat membuat suamiku merasa begitu. Aku maklum kok kalau rumah sedemikian kotor. Aku mengerti dia memang benar-benar tak punya waktu untuk bersih-bersih. Atau kalaupun punya, aku mengerti dia sudah kecapekan karena bekerja seharian di kantor, tiba di rumah pun malam-malam.

Suamiku itu… betapa besar usahanya untuk membuatku merasa nyaman. Sampai dibela-belain membersihkan seluruh rumah hanya karena aku datang. Sebenarnya inilah yang paling membuatku merasa sangat bersalah dengan kepergianku ke Bandung. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian dengan berbagai urusan rumah untuk diselesaikan, padahal seharusnya itu menjadi tanggung jawabku. Nggak kebayang tiap hari dia pulang ke rumah dalam keadaan capek, lalu masih harus membereskan ini itu, terutama masalah bersih-bersih rumah dan mencuci baju. Duh, suamiku… benarkah kehidupan yang kita jalani ini benar-benar keputusan yang terbaik?

*dan setiap hari aku semakin mencintainya, bahkan menulis ini pun membuatku merindukannya lagi dan lagi… setengah mati…*

Wednesday, March 05, 2008

?!*#@$%

Saat makan siang, teman-teman asyik bercerita tentang pekerjaan dan kegiatan mereka. Mereka tampak excited. Ada yang berkutat dengan alat counting dan ada yang sibuk dengan filter-filter. Lalu aku?

Sebenarnya keberadaanku di sini adalah sesuatu yang (mungkin) disayangkan. Akunya sendiri nggak enjoy. Instansi juga rugi punya pegawai yang nggak niat kerja kayak aku begini :( Jadi lose-lose solution dong. Sebenarnya keputusanku untuk kerja ini bener nggak sih? >_<

*nggak tahu kenapa aku jadi mikir begini*

Bosan

Memang ya, kalau bekerja tidak dinikmati itu akan terasa berat. Saat ini aku merasa bosan luar biasa. Aku belum (atau tidak?) menemukan kegairahan bekerja di kantor. Bukan apa-apa sih. Bukan karena tempatnya tidak menyenangkan *bahkan lingkungan dan rekan-rekan kerja sebenarnya cukup menyenangkan*. Mungkin lebih karena aku tidak pernah benar-benar ingin bekerja.

Aku merindukan rumah Cikarang. Aku rindu aktivitas keluar rumah waktu subuh untuk berbelanja sayur-mayur dan bahan-bahan lain yang akan kumasak. Aku rindu aktivitas menyapu dan mencuci. Aku rindu melihat lantai rumah Cikarang yang bersih mengkilat. Aku rindu menonton Oprah Winfrey Show di sela-sela aktivitas mengurus rumah. Aku rindu aktivitas meracik bumbu dan memasak di dapur sore-sore. Aku rindu pada mawar-mawar manisku. Di atas segalanya, aku sangat merindukan aktivitas menanti suami pulang kerja, dan rindu pada binar matanya ketika melihatku membukakan pintu.

Bekerja diniatkan untuk beribadah itu betul, tapi itu sesuatu yang klise dan mudah diucapkan. Prakteknya? Susah kalau hati kita tidak benar-benar berada di situ. Keikhlasan menjadi sesuatu yang kabur dan susah untuk digenggam.

Kata Pak Mario Teguh, pekerjaan yang paling bagus adalah pekerjaan yang ketika kita mengerjakannya, kita sangat menikmatinya dan kita dibayar untuk itu. Aku belum (atau tidak?) menikmati detik-detik berada di kantor. Aku tidak menikmati memakai baju setelan kerja yang bagus dan rapi ini. Aku justru sangat menikmati memakai piyamaku dan bergerak lincah ke sana kemari untuk berkeringat mengurus rumah. Menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat kunikmati, impian kehidupan sejak lama… dan aku bahkan tidak perlu dibayar untuk itu.

*setelah sejenak mengunci diri di kamar mandi kantor sambil berlinang air mata*