Saturday, June 16, 2007

Cincin


Kalau ada perhiasan yang aku suka, itu adalah cincin. Dari dulu aku suka pakai cincin. Dibanding gelang atau kalung, aku lebih suka pakai cincin. Sampai hari ini, ada empat cincin yang paling aku sayangi.

Yang pertama, cincin perak berukir yang dibelikan kakak laki-lakiku saat usiaku 13 tahun. Cincin perak itu oleh-oleh dari Bali. Cincin ini sebenarnya udah patah, tapi sampai sekarang masih kusimpan baik-baik karena buatku ia monumental, tanda kasih dari kakak tersayang.

Yang kedua, cincin emas bermata batu akik hijau pemberian Mami. Cincin ini ada ceritanya sendiri: emasnya hadiah dari bank tempat Mami menyimpan tabungan, sedangkan batu akik hijaunya pemberian kakek. Mendiang kakekku dulu sering mengumpulkan batu akik mentah yang kemudian diasah sendiri hingga mengkilat. Jadi, cincin ini juga monumental banget.

Cincin yang ketiga adalah cincin emas putih yang paling sering kupakai. Cincin ini dari Mami juga, bentuknya unik, rada meliuk di bagian mata cincinnya. Gara-gara dibelikan cincin ini, sekarang aku jadi ngefans banget sama emas putih.

Nah, cincin yang keempat ini adalah cincin yang paling baru. Apalagi kalau bukan cincin nikah :D Cincin ini kupesan di Jakarta bareng suami. Modelnya sama dengan punya suami, tapi bahannya lain: punyaku emas putih, punya dia perak. Aku sayang banget sama cincin ini. Di saat-saat kangen suami seperti sekarang ini, aku jadi sering memandang dan mengelus cincin nikah. Sambil berpikir, nun jauh di sana... suami sedang apa ya?

Aku nggak pernah bermaksud menggantikan kedudukan seseorang dengan benda. Tapi buatku... membawa sebagian dari benda-benda kenangan tentang seseorang, sedikit banyak membuat orang itu “lebih hidup” di dalam hatiku dan mengobati kerinduanku padanya. Maka jangan heran kalau aku suka sekali mengoleksi foto dan benda-benda yang mengingatkan aku pada orang-orang yang aku kasihi.

Hehe, jadi ingat: kalau suami belum juga pulang dari kantor dan aku udah kangen banget, biasanya aku meluk-meluk bantal yang sering dipakainya tidur, buat ngobatin kangen. Huahhh, udah nggak sabar pengen ketemu suami. Seminggu lagi, aku akan bisa memeluknya kembali.

Foto: Cincin nikah milik aku dan suami.

Wednesday, June 13, 2007

Dan Setiap Hari Aku Semakin Mencintainya

Untuk senyum mentari yang diberikannya setiap pagi
Untuk kecupan hangat yang diberikannya setiap malam sebelum tidur
Untuk pijatan pelepas penat setiap kali sakit punggungku kambuh *padahal aku tahu kau juga lelah, Sayang*
Untuk segala peluk dan belai peneduh gundah
Untuk kesabaran seluas samudra tak bertepi
Untuk kasih sayang yang tiada berbatas
Terima kasih pada-Mu karena telah mengirimkannya padaku

Dan setiap hari aku semakin mencintainya

Foto Pernikahan


Aku tu paling suka lihat foto pernikahan atau foto prewedding yang mesra. Apalagi kalau foto itu ”dapat banget” momennya. Wuihh, serasa ngelihat fairytale aja deh...

Dulu sebelum nikah, aku suka buka-buka majalah pernikahan dan jalan-jalan ke berbagai wedding site. Di sana banyak foto mesra yang bagus-bagus, sekedar buat inspirasi kapan-kapan kalau difoto *FYI, aku juga suka difoto :p*. Ternyata kebiasaan itu keterusan sampai sekarang. Kemarin aku habis lihat wedding site-nya seorang teman. Foto-fotonya keren-keren. Oprah calls them: ”the kodak moments”.

Btw foto-foto pernikahanku kutaruh di beberapa tempat. Tapi yang resmi ada di wedding site-ku. Sayangnya jumlah foto yang bisa ditaruh di situ terbatas, jadi versi yang lebih banyak ada di multiply-ku. Please enjoy them...


Cabut Gigi

Selasa, 12 Juni 2007

Hari ini aku cabut gigi. Ini gigi geraham depan yang udah mati dan rusak parah. Mahkota giginya udah nggak ada, tinggal lubang aja. Harusnya udah dicabut sejak zaman kuda gigit besi, tapi aku selalu males. Tadinya sih aku pede aja. Toh sejak aku kelas satu SMP, aku udah sering bolak-balik ke dokter gigi *waktu itu aku pakai kawat gigi jadi harus rajin kontrol*.

Kesan pertama lihat dokternya: wah, kok nggak simpatik banget. Perasaanku udah nggak enak aja. Ternyata kejadian deh, saat-saat menyeramkan itu datang juga. Selama hampir sejam, gigiku diongkek-ongkek dan ditarik-tarik. Sempat patah beberapa kali, sempat tambah dosis suntik biusnya sampai tiga kali *bayangkan: tiga kali!*, darahnya sampai menetes ke jilbabku.

Karena tingkat kesulitannya lumayan tinggi, dokternya tambah bete. Masak cabut gigi pasien sambil berkeluh kesah, mana bisa pasiennya tenang. Karena dia bete, narik-nariknya makin nggak manusiawi. Aku yang udah capek mengelojot dan menggeram *sakit banget, tau* akhirnya cuma bisa terduduk lemas. Disuruh menelengkan kepala dan membuka mulut lebih lebar pun aku nggak mau. Udah males.

Setelah cuilan gigi yang bikin dokter itu bete bisa diambil, aku pun lega luar biasa. Sambil bersungut-sungut aku ninggalin kursi ”penyiksaan”. Eh lha kok dokternya bilang sambil dongkol, ”Lain kali kalau cabut gigi nggak usah nunggu sampai separah itu.”

Oalah, Pak Pak... udah nggak bikin tenang pasien, udah nyiksa pasien, lha kok masih marah-marah sama pasien. Males banget ke situ lagi. Nggak lagi deh.

Oh betapa aku merindukan dokter gigi kesayanganku di Balongan, yang meskipun laki-laki, beliau bisa ramah, sabar, lembut, dan kata-katanya menenangkan. Beliau pasti udah sepuh banget sekarang *masih buka praktek nggak ya?*

Thursday, June 07, 2007

Suamiku Kekasihku


Selasa, 5 Juni 2007

Udah sebulan lewat sebelas hari aku tinggal di Cikarang. Rumah kami mungil, bercat salem dan krem, terletak di perumahan yang fasilitasnya lumayan lengkap. Di depan rumah ada taman kecil yang meskipun cuma sepetak, alhamdulillah bisa menyejukkan pandangan.

Selama sebulan ini, kegiatanku full ngurusin rumah: memasak, mencuci, bersih-bersih, beres-beres rumah. It’s fun. Jadi ingat, masakan pertama yang kubuat untuk suami adalah nasi goreng. Hehe, standar banget ya. Ya gimana lagi, untuk urusan dapur aku termasuk pemula. Bisa dibilang pemula banget lah. Selama ini aku jarang memasak, akhirnya belajar-belajar sendiri deh di sini. Memasak sebisanya, yang simpel-simpel.

Alhamdulillah, suamiku itu pengertian banget. Masakan yang nggak enak pun dengan tenang dia santap :D Kalau ditanya enak atau nggak, dia pasti bilang enak sambil manggut-manggut *ma kasih ya, Sayang*. Padahal aku tahu, beberapa masakanku hancur total. Paling-paling dia nambahin usul: kurang asin, kurang pedes, atau kurang apa.

Dalam seminggu, aku punya satu hari libur memasak: biasanya hari Sabtu. Pada hari itu kami makan di luar sekaligus jalan-jalan. Pernah karena malas keluar, akhirnya suamiku yang memasak. Menunya nasi goreng juga, apalagi emangnya hehehe. Seneng sih, bangun pagi-pagi udah disodorin sarapan. Tapi setelah aku beranjak ke dapur... olala... dapur kok jadi kotor gitu ya. Ternyata emang harus maklum, keadaan dapur emang beda kalau ditangani oleh laki-laki :p

Aku sering kesel kalau dapur dibuat berantakan oleh suami. Niatnya meringankan bebanku dengan gantian memasak, eh ujung-ujungnya aku juga yang capek karena harus bersih-bersih dapur. Akhirnya marahku menguap demi melihat tatapan menyesal suamiku, kata maaf yang terucap, diikuti oleh kecupan hangat di pipi. Ya sudah deh, niat suami kan sebenarnya baik. Sekarang kalau dia masuk dapur, kuwanti-wanti supaya nggak bikin berantakan lagi.

Dulu sebelum pindah kerja ke tempat yang sekarang, suamiku selalu pulang sebelum maghrib. Sambil nunggu maghrib, kadang-kadang dia berkebun, menyiram taman, mencabuti rumput. Sekarang... boro-boro berkebun, sampai rumah aja setiap hari pukul setengah delapan malam. Tempat kerjanya sekarang di Jakarta, jadi kalau berangkat harus pagi-pagi selepas subuh dan pulangnya malam-malam. Waktu awal-awal pindah kerja, aku sedih banget gitu deh. Uring-uringan. Ya iyalah, secara waktu suami lebih banyak dihabiskan di luar rumah gitu lho. Sekarang udah rada terbiasa, cuma aku jadi males ngurusin taman. Duh, sekarang banyak gulma yang tumbuh tuh.

Selama sebulan lebih tinggal di rumah ini, nggak jarang aku dan suamiku bertengkar. Ya namanya rumah tangga, pasti ada lah kayak gitu. Tapi biasanya cepet baikan lagi. Suamiku itu sabar banget orangnya, nggak enak marah lama-lama sama dia. Biasanya habis marahan, baikan, terus malah jadi tambah mesra ;)

Minggu depan, suami bakal keluar kota ikut induction program tempat kerjanya yang baru. Kayaknya aku mau pulang ke Solo aja ah. Males banget termenung-menung di rumah ini sendirian selama seminggu lebih. Ntar kalau mati kangen gimana *hehehe, hiperbolis banget*. Duh, harus kuat nahan kangen. Iya sih cuma seminggu, tapi kan tetep aja nggak terbiasa. Mana bisa sehari lewat tanpa denger suara suami. Wong dia telat pulang setengah jam aja, aku udah kirim sms kangen *jadi ingat, dulu sebelum nikah, traffic komunikasi kami lumayan tinggi lho: sehari bisa lebih dari 50 sms dan 5 kali telepon*. I’m gonna miss you so much, Sweetheart...

Foto: Mawar warna salem yang ditanamkan suami untukku di taman depan rumah *dan pembaca pun berseru, ”So sweet...” hehehehe*

Saturday, June 02, 2007

Jurnal Pernikahan [2]


Kamis, 31 Mei 2007

...oke, ini sambungannya...

Florist dan Dekorasi

Ini salah satu hal yang bisa dibilang penting. Karena kalau enggak ada, akan tampak kering. Untuk poin satu ini, orang tuaku memilih jasa ”Joglo Mas”. Sekarang ini paket dekorasi plus hiasan bunga kan udah beraneka ragam, mulai dari yang murah sampai yang mahal. Sesuaikan dekorasi dan hiasan bunga dengan anggaran, tema acara, dan kesan yang ingin ditampilkan.

Sehari sebelum akad nikah, pihak ”Joglo Mas” udah datang ke rumah untuk pasang rangkaian bunga dan dekorasi kamar pengantin. Jadi wangi deh rumahku saat itu. Bunga segar yang dipasang bertahan sampai tiga hari. Untuk acara tasyakuran di gedung, hiasan bunga didominasi oleh warna kuning karena bajunya --mulai dari pengantin, orang tua, saudara, sampai para among tamu-- bernuansa coklat keemasan. Warna coklat ini kupilih sekedar untuk memudahkan, karena nuansa pengantin Jawa identik dengan coklat. Lihat saja, mulai dari jarik, kursi pengantin ukir, sampai gebyog (gebyog = background pelaminan khas Jawa, biasanya terbuat dari kayu) kan warnanya coklat semua.

Selain itu, tentu tak lupa memasang rangkaian bunga melati di mana-mana. Pengantin Jawa juga identik dengan melati, mulai dari aksesoris baju, aksesoris keris, kelengkapan riasan pengantin, sampai dekorasi ruangan. Hmmm, wangiiiiii... Tentang bunga melati ini, ada cerita dan mitos seputarnya. Siapa yang berhasil ”mencuri” bunga melati pengantin, meskipun cuma sekuntum, konon akan enteng jodoh dan segera nyusul menikah. Hmm, kayak mitos buket bunga pengantin barat aja ya. Alhasil, setelah acara tasyakuran selesai, banyak yang berusaha mencopot sedikit melatiku, baik melati tiba dhadha atau melati hiasan sanggul. Ada-ada aja. Kuberikan aja dengan sukarela, asal nggak banyak-banyak :D

Mahar dan Peningset

Peningset atau serah-serahan adalah pemberian dari pihak mempelai pria. Berasal dari kata singset yang artinya ”mengikat”, peningset berarti hadiah yang menjadi pengikat hati antara dua keluarga. Secara adat Jawa, peningset biasanya terdiri atas: satu set daun sirih yang disebut Suruh Ayu, beberapa helai kain jarik dengan motif batik yang berbeda, kain bahan untuk kebaya, ikat pinggang tradisional yang disebut stagen, buah-buahan (terutama pisang), sembako (beras, ketan, gula, garam, minyak goreng, bumbu dapur), satu set cincin nikah, dan sejumlah uang sebagai sumbangsih dari pihak mempelai pria.

Meskipun mahar dan peningset menjadi tanggung jawab mempelai pria, bukan berarti hal ini nggak bisa didiskusikan berdua. Bicarakan apa yang menjadi ganjalan, sebisa mungkin cari solusi yang nggak memberatkan calon suami. Kalau terlalu merepotkan, ada baiknya jumlah dan jenis peningset dikurangi. Sesuaikan dengan kemampuan, jangan malah jadi masalah. Cari yang praktisnya aja, jangan mensyaratkan macam-macam.

Khusus untuk mahar, disunnahkan yang bermanfaat, ringan, sederhana, dan tidak berlebihan. Hal ini demi kemudahan pernikahan. Berikut ini kutipan dari sini.

Para wali tidak boleh menetapkan syarat uang atau harta (kepada pihak lelaki) untuk diri mereka, sebab mereka tidak mempunyai hak dalam hal ini, ini adalah hak perempuan (calon istri) semata, kecuali ayah. Ayah boleh meminta syarat kepada calon menantu sesuatu yang tidak merugikan putrinya dan tidak mengganggu pernikahannya. Jika ayah tidak meminta persyaratan seperti itu, maka itu lebih baik dan utama.

Rasulullah SAW telah bersabda yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA: ”Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah”.

Suvenir

Poin ini sebenarnya nggak terlalu penting, tapi kok rasanya aneh ya kalau nggak ada. Waktu itu aku memilih kipas yang bahan dasarnya terbuat dari bambu dan kain halus bermotif bunga-bunga. Alasannya mudah aja, aku memilih suvenir yang bermanfaat (nyatanya banyak dipake buat kipas-kipas oleh para tamu yang kegerahan di gedung, hehehe). Selain itu, pengemasannya gampang. Soalnya pengemasan ini kulakukan sendirian, paling cuma dibantu sama adik. Kalau cari yang rumit-rumit, bisa stres daku, lha wong jumlahnya 700 buah. Waktunya lumayan mepet soalnya.

Pengisi Acara

Orang tuaku ingin sebuah resepsi yang kental dengan adat Jawa, jadi segala susunan acara, bahasa pengantar, sampai cara duduk tamu... semuanya disesuaikan dengan adat resepsi pengantin Solo tradisional. Semua tamu duduk di kursinya masing-masing, sementara makanan disajikan oleh para sinoman secara berturutan: makanan pembuka, makanan inti, lalu makanan penutup. Para tamu datang bersamaan dan pulang bersamaan. Selama acara dilangsungkan, sekira satu setengah jam, semua tamu duduk menyaksikan sambil menyantap hidangan.

Dengan model acara seperti ini, maka pengisi acara harus dipersiapkan secara matang. Beda sekali dengan acara prasmanan atau standing party di mana para tamu datang dan pergi sehingga pengisi acara tidak terlalu diindahkan. Orang tuaku meminta tolong teman-teman pamanku dari STSI / ISI Solo untuk menjadi protokol dan pengisi acara. Untuk hal-hal acara yang njawani, STSI / ISI Solo emang jagonya. Mulai dari tata upacara adat, musik gamelan live, tarian tradisional, sampai bahasa pengantar --bahasa Jawa halus tingkat tinggi yang bahkan aku pun nggak ngerti artinya--, mereka kan udah ngerti pakem-pakemnya. Semua personil protokoler memakai pakaian adat Jawa lengkap.

Hmm, apalagi ya... Sepertinya poin-poin penting udah kutulis semua. Semoga bermanfaat buat yang lagi nyiapin pernikahan, karena postingan ini kutulis atas permintaan seseorang yang tampaknya sedang mempersiapkan hari besarnya --tring... tring... sambil lirik-lirik C*tr*, sekalian deh lirik-lirik Ilm*, huehehehehehe--. Guys, jangan lupa baca juga yang ini tentang cincin nikah. Penting juga lho.


Jurnal Pernikahan [1]


Kamis, 31 Mei 2007

Ada banyak sekali hal ternyata, yang perlu dipersiapkan untuk sebuah pernikahan :D

Waktu persiapan biasanya dimulai setahun, setengah tahun, sampai tiga bulan sebelum hari H. Tapi pernikahanku akhirnya terlaksana dengan waktu persiapan hanya dua bulan! Bukan apa-apa sih, habis sebelumnya Mami dan Papi sibuk terus. Yah, lama waktu persiapan itu tergantung masing-masing orang. Yang penting matang. Kira-kira inilah poin-poin yang dipikirkan selama waktu itu.

Gedung Resepsi

Kalau resepsi dilakukan di rumah, nggak ada masalah. Tapi kalau resepsi dilakukan di gedung, kita harus bener-bener memikirkan kapan waktu yang tepat untuk booking gedung. Gedung-gedung yang banyak jadi incaran orang biasanya di-book setahun sampai setengah tahun sebelum hari H.

Nah, dalam hal ini, alhamdulillah aku beruntung. Gedung Wanita ”Sasana Kridha Kusuma” yang kami pilih untuk April, bisa di-book pada Februari karena ada satu slot waktu kosong yang jadi semacam waiting list. Karena pemesan sebelumnya batal, maka hak booking jatuh pada kami. Alhamdulillah. Tapi ini keberuntungan lho ya. Alhamdulillah sekali karena dipermudah oleh Allah. Tidak dianjurkan untuk ditiru, hehehe. Habis booking gedung dengan sangat mendesak dan ada faktor kebergantungan pada orang lain seperti ini jelas bukan ide yang bagus. Lebih baik dipersiapkan jauh-jauh hari.

Katering

Sama seperti gedung, masalah katering adalah masalah ”wajib”. Katering yang bagus juga kadang-kadang mengharuskan kita mem-book jauh-jauh hari dengan booking fee yang tidak sedikit. Karena mereka laris, kita harus rebutan booking dengan orang lain. Maka ada baiknya kita segera bayar booking fee untuk tanggal resepsi yang sudah ditentukan, meskipun waktu itu kita belum terbayang sajian menu yang akan dipesan. Pokoknya booking saja lah. Pihak katering akan memberi waktu untuk mempertimbangkan menunya belakangan. Ini pengalaman pribadiku dengan Katering ”Dhahar Eco”.

Perias Pengantin

Tadinya aku mau pakai perias pengantin Jawa yang bernama Bu M. Beliau ini njawani banget. Riasannya juga halus, khas pengantin Solo. Pengalaman Bu M juga udah bertahun-tahun. Tapi ternyata oh ternyata, karena Bu M ini keukeuh riasannya njawani, beliau rada keberatan kalau hasil riasannya ”ditutup” jilbab. Lho lha gimana, wong aku-nya berjilbab kok. Ya udah, akhirnya cari alternatif lain.

Cari ke sana kemari sambil tanya teman-teman, akhirnya ketemu salon muslimah ”Aufa”. Periasnya bernama Mbak Tatik. Lebih gampang dilobi dan diajak kompromi, jadi enak. Mengakomodasi keinginanku lewat serangkaian diskusi serta fitting baju dan jilbab. Akhirnya jadilah riasan pengantin yang meskipun berjilbab, nuansa jawanya sangat kental. Paesan-nya (paesan = riasan pengantin putri Jawa secara keseluruhan) lengkap: ada gajahan, melati kawung untuk sanggul, melati tiba dhadha, cundhuk mentul, plus aksesoris lain semacam kalung, giwang, dan bros. Aku juga ambil perawatan calon pengantin di salon ini sehari sebelum akad nikah: creambath, luluran, ratus, dan spa rempah.

Kebaya Pengantin

Sejak awal, aku ingin pernikahanku sarat dengan nuansa Jawa. Makanya aku bertekad memakai kebaya dan kain tradisional (jarik) dengan motif yang sesuai pakem, yaitu motif Sidomukti. Motif ini melambangkan kehidupan yang makmur dan dicintai banyak orang.

Untuk akad nikah, aku memakai kebaya putih, jarik Sidomukti prada, jilbab putih dengan selendang putih yang dipasang tinggi di puncak kepala. Untuk acara tasyakuran, aku memakai kebaya coklat berpayet, jarik Sidomukti halus, serta riasan Jawa lengkap. Perancang dan penjahit kebayaku adalah Mbak Ning dari ”Solo Baggio”. Tadinya aku memilih kebaya pengantin tradisional Solo yang berwarna hitam dengan desain yang sesuai pakem, tapi kata Mami, sekarang udah jarang anak muda yang memakai itu karena terkesan kuno. Akhirnya aku nurut aja memakai kebaya pengantin modern dengan payet-payet dan gaya desain yang lebih kekinian.

Tips buat yang akan bikin baju pengantin, usahakan banyak survei. Buka-buka majalah pernikahan untuk mencari ide rancangan, atau banyak tanya ke sesepuh kalau ingin memakai baju tradisional. Jangan lupa juga untuk survei perancang / penjahit bajunya, cari yang bagus dan sesuaikan dengan anggaran. Lebih bagus lagi kalau bisa dapat yang bagus dengan harga murah (hehehe, ada nggak ya?). Dan yang terpenting, pesan baju jauh-jauh hari. Paling telat dua bulan sebelum hari H. Ini untuk jaga-jaga kalau hasil fitting ternyata masih perlu perbaikan. Jangan salah, fitting-nya bukan cuma sekali lho. Apalagi kalau selama pembuatan baju, badan kita naik-turun ukurannya (alias lebih kurus atau lebih melar). Hehehe, emang serasa kayak artis sih, pake fitting baju pengantin segala :p

...to be continued...


Nggak Tahu Aturan

Kamis, 31 Mei 2007

Aku paling benci sama orang yang nggak tahu aturan, udah gitu ngerasa dirinya yang paling benar. Huekk, pengen muntah aku sama orang kayak gitu.

Pagi ini selepas subuh, di tengah udara yang menggigit dan gelap yang masih membayang, aku ketemu sama orang macam itu. Seperti biasa, selepas mengantar suami ke halte bus, aku memacu sepeda motor dengan kencang di jalanan Lippo Cikarang yang sepi. Dari arah berlawanan tepat di depanku, terlihat sebuah sepeda motor juga kencang menuju ke arahku.

Sedetik aku sempat berpikir sebelum membanting kemudi ke arah kiri. Orang geblek itu serta merta mengklaksonku keras-keras. Hei, hei... siapa yang salah dong. Emang iya semalam jalan ini jadi dua arah, tapi jam segini kan udah jadi satu arah lagi. Barikade yang dipasang satpam di lajur sebelah udah dibuka, itu kan tandanya udah harus jalan di lajur masing-masing. Ngapain pula dia pake marah-marah kayak gitu, pasang tampang kayak gitu, sambil mengklakson keras-keras???

Sumpah, pengen marah banget. Alhamdulillah tadi nggak tabrakan, coba. Pengen kumaki-maki, karena kebetulan aku emang lagi bad mood. Tapi lalu ingat untuk bersabar. Huh, akhirnya aku pun berlalu sambil menyimpan dongkol di dalam hati. Dasar geblek!!!


Pernikahan

Rabu, 18 April 2007

Sekarang aku paham kenapa bagi sebagian orang, saat pernikahan adalah saat-saat yang menyedihkan. Tadinya aku bingung kok bisa begitu. Ternyata setelah mengalaminya sendiri, aku jadi benar-benar paham sekarang.

Begitu banyak air mata, salah paham, pertengkaran, dan keletihan. Dengan banyak orang yang membantu saja rasanya sudah berat, apalagi dengan personil minimum seperti pernikahanku sekarang… Setiap hari serasa bagai single fighter buat Mami, Papi, aku, dan Yesti. Dan di tengah keletihan seperti itu, segala hal bisa terjadi. Meski kita sudah berusaha menahan diri sekalipun. Belum lagi penyesuaian dua keluarga besar yang kadang menimbulkan gesekan, karena berasal dari latar belakang yang berbeda. Ternyata tak semudah teori. Butuh ekstra kesabaran.

Ya sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang masanya menatap masa depan.

Di hadapan aku dan (calon) suamiku, terbentang jalan yang sangat luas, yang terserah kami bagaimana akan menjalaninya. Karena tergolong masih muda, tentu kami masih gamang. Termasuk tentang karir apa yang akan dijalani, tentang di mana akhirnya kami akan menetap, tentang anak... weiiii, rasanya masih jauh sekali...

Belakangan ini aku merasa gamang soal keputusan Mas Catur untuk pindah kerja. Mulai dari nol lagi, berharap-harap cemas mengenai nasibnya di tempat yang baru, akan ditempatkan di mana nantinya... padahal sudah ada rumah di Cikarang yang KPR-nya bahkan masih dicicil. Gambaran kehidupan yang mulai terbayang dan tertata dalam benak, kini jadi tak teratur, gelap, serta tak pasti. Suatu hal yang sangat tak nyaman buat tipe melankolis yang serba teratur dan terencana seperti diriku.

Aku masih belum tahu akan seperti apa akhirnya nanti. Tadinya aku sempat uring-uringan, tapi kini aku ingin belajar dewasa. (Calon) suamiku seorang yang hebat. Tak adil rasanya kalau potensinya tidak berkembang hanya karena menuruti egoku. Lagipula aku belum (atau tidak?) bekerja, masih bisa lah mengikuti ke mana saja ia pergi. Toh di manapun ia berada, di situlah rumah bagiku.

Di belakang seorang laki-laki hebat, selalu ada perempuan hebat. Dan aku ingin jadi perempuan hebat itu.