Friday, February 23, 2007

Kutipan Favorit

Pakailah kacamata cinta, maka Anda akan menyadari, dunia ibu rumah tangga lebih luas dibanding apa pun. Carilah sampai ke pelosok dunia, ketika Anda mencari titik paling strategis untuk membuktikan kecanggihan Anda sebagai perempuan, menjadi Full Time Mother adalah pilihan yang cerdas.

Tasaro (Penulis, peraih Adikarya IKAPI)

Susahnya Jadi Istri

Kalau istri punya pendapat yang beda sama suami, meskipun pendapatnya benar, istri harus nurut sama suami.
Kalau istri pengen ngelurusin suami karena suami salah, tapi suami ngeyel, istri harus nurut sama suami.
Kalau istri pengen makan seafood tapi suami pengen bakso, nggak jadi makan seafood deh, karena istri harus nurut sama suami.

Jadi, kalau kamu seorang perempuan mandiri, pikir masak-masak ya... sebelum memutuskan untuk menikah.

Wednesday, February 07, 2007

Berjuang untuk Cinta

Seumur hidup, aku selalu berjuang untuk cinta.
Hanya sekali aku tidak melakukannya.
Kini aku sangat menyesal karenanya.

Kalau ada penyesalan yang kubawa sampai mati, mungkin penyesalan inilah ia.

Moral of the story:
Kalau kau mencintai seseorang, katakan. Seorang teman pernah menasehatiku, cinta yang tidak dinyatakan adalah cinta yang tidak menghargai eksistensi orang yang kau cintai. Cinta yang hanya dipendam adalah cinta yang tiada guna. Terlepas dari apakah jawaban orang itu adalah ”ya” atau ”tidak”, hal terpenting yang kau lakukan adalah menyatakannya. Paling tidak, kau sudah beroleh kepastian tentang jawaban orang itu terhadapmu, bukan tetap merana bertanya-tanya sampai kau mati. Maka katakan cinta --bahkan bila kau harus berjuang untuk itu-- sebelum semuanya terlambat.

Dunia Ini Milik Laki-Laki

Enaknya diapaain yah?

Pernah baca... katanya kalo ada istri menolak untuk diajakin pafu-pafu ama suaminya, ntar si istri dijauhi ama malaikat sepanjang malam. Ga peduli istri kecapekan ngurus anak, atau kecapekan lembur kerja, atau ngantuk berat... tetep aja dijauhi ama malaikat kan ya?

Nah... kalo misalnya seorang suami nganggurin istrinya sepanjang malam, padahal istrinya sedang amat sangat berhasrat, trus gimana coba? Apakah suami bakal dikutuk juga ama malaikat sepanjang malam?

Ah kamu, jadilah istri yang baik.
Udah tahu suami lagi kecapekan habis lembur, mbok ya pengertian dikit gitu lho ah.
Sou na no? Gitu kan ya.
Tetep aja istrinya yang disalahin.

Giliran istri yang menolak, sebagai balasannya istri dijauhi malaikat sepanjang malam.
Giliran suami yang menolak, istri harus bisa memahami.
Nani sore tte?
Sukoshi mo wakaranai.

Kalau kamu udah siap-siap mandi yang wangi, pake parfum kesukaannya, pake the most sexiest lingerie you have, trus sebagai gantinya, suami kamu bilang "Aduuuuuh. Gomen ne. Aku lagi capek banget ni. Lain kali aja ya."

Pada saat itu, apa yang ingin kamu lakukan?
Pastinya pengin nendang suami kamu sampe ruang tamu kan ya.
Makanya, kalau punya anak cewek, pastikan dia belajar taekwondo sejak usia dini.

Josei tte sa... kokoro gurai motte ru yo. Daijini shite kudasai.

*dikutip dari sini*


Memang, dunia ini milik laki-laki. Mari kita coba renungkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan. Pernikahan sejatinya adalah penyerahan ketaatan perempuan terhadap laki-laki, penyerahan diri perempuan untuk tunduk pada kekuasaan laki-laki.

Menjadi perempuan itu sungguh kompleks. Ketika seorang perempuan mengikatkan dirinya dalam pernikahan, jati dirinya sedikit demi sedikit terkikis. Apa yang dia lakukan selanjutnya adalah atas nama suami dan anak-anak. Keinginan pribadinya adalah nomor kesekian setelah kepentingan keluarga. Hal ini bagai sebuah keniscayaan, bahkan bila suaminya bukan tipe penuntut sekalipun *apalagi kalau suaminya tipe penuntut*.

Dengan kondisi yang seperti itu, perempuan rawan kehilangan ”diri”-nya. Keinginan pribadinya, kebahagiaannya, kesukaannya... lalu terkubur dalam upaya membahagiakan suami dan anak-anak, karena dia seolah punya ”tanggungan” untuk itu. Ini yang disebut Oprah Winfrey sebagai ”women who lose theirselves”.

Perempuan lantas tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Selain keinginan pribadi dan kebahagiaan yang terpasung, dia juga tidak bebas mengekspresikan perasaan. Di depan suami dia dituntut untuk berwajah ceria, menyenangkan, seolah dunia baik-baik saja meski dia merasa letih dan sedih sekalipun. Kalau perasaan sedih diekspresikan, perempuan akan dituding tidak mampu berwajah menyenangkan buat suaminya, tidak memahami kelelahan suami setelah seharian bekerja. Kalau perasaan sedih disembunyikan, tentu perasaan tertekan lambat laun akan menjadi penyakit jiwa dan bisa merambat pada hal-hal yang tidak diinginkan. Tetap, perempuan yang akan disalahkan.

Wajar saja kalau di mana-mana akhirnya banyak perempuan yang mengalami kegamangan dalam memasuki pernikahan. Campur aduk antara ragu, takut, dan was-was. Orang awam sih bakal meyakininya sebagai sindrom umum yang dialami perempuan kebanyakan *mereka bilang itu hal biasa* padahal bisa jadi ini merupakan pertanda adanya ”ketidakberesan” dalam hubungan laki-laki dan perempuan.

Perempuan menjadi ragu apakah laki-laki yang akan mengikat komitmen dengan mereka adalah orang yang tepat untuk dicintai seumur hidup. Bayangkan jika seumur hidup dihabiskan dengan orang yang salah. *Para perempuan yang antipernikahan biasanya bilang, ”Yakin enggak, kamu bakal bisa mencintai satu orang aja sepanjang sisa hidupmu?”* Yah, pernikahan memang pertaruhan perempuan untuk menggadaikan dirinya pada laki-laki.

Kalau bicara hal ideal, pernikahan semestinya jadi ajang saling melengkapi, bukan ajang di mana harus ada yang menang dan yang kalah, yang benar atau yang salah. Tapi kenapa aku tetap merasa dunia ini milik laki-laki ya? Mereka sangat keras kepala untuk tidak kehilangan ego dan kekuasaan di depan perempuan.