Wednesday, October 18, 2006

Iseng

Tadi iseng-iseng aku ikut kuis tentang How Open Are You?. Nih hasilnya. Lumayan bener juga kayaknya.
You Are 54% Open

You are a fairly open person, but you also like to maintain your privacy.
You definitely will tell all (okay, almost all) to your closest friends...
But strangers and acquaintances only get a peek into your life.

Trivialisme

Di postingan lalu aku janji kan, mau nulis tentang pengaruh acara-acara TV yang tidak-ada-isinya terhadap pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Dan betapa penting untuk menghindari acara-acara semacam ini. Dulu aku pernah nulis tulisan serupa untuk buletin Kronika, YPM Salman ITB edisi 1 Oktober 2004. Waktu itu cuma ngebahas tentang infotainment aja sih, tapi kupikir pengaruhnya sama aja kayak acara tidak-ada-isinya yang lain. Ini dia.

Infotainment dan Tanggung Jawab Pers

Di tengah perjuangan kemerdekaan pers di negeri ini, di saat pers yang berani bersuara lantang meneriakkan kebenaran sedang tersaruk menghadapi tuntutan, kita juga dihadapkan pada masalah etika tentang pemberitaan pers oleh tayangan-tayangan infotainment. Konsep awalnya, infotainment adalah acara yang menggabungkan antara informasi (information) dan hiburan (entertainment). Tetapi sesungguhnya, acara-acara semacam ini adalah gunjingan tentang orang ternama alias gosip.

Acara-acara infotainment yang menjejali layar televisi kita memiliki nama-nama yang berbeda, tetapi kemasannya hampir sama dan seragam. Kabar terbaru tentang seorang artis akan diberitakan sama hampir di semua acara-acara itu. Acara semacam ini memang menguntungkan pihak televisi karena pembuatannya murah dan menarik banyak iklan. Apalagi masyarakat sendiri menggemari berita-berita tentang orang-orang ternama. Makin seru, dramatis, dan kontroversial pemberitaannya, makin asyik orang menonton dan makin senang pula stasiun televisi menayangkannya.

Paul Kennedy, dalam bukunya Preparing for the Twenty First Century, menulis tentang trivialism, yaitu kecenderungan untuk menyukai hal-hal remeh. Kennedy meramal, trivialism yang diproduksi media massa akan membuat AS di masa depan tertinggal dan mengalami kebangkrutan ekonomi. Nah, bukankah materi yang disajikan oleh tayangan infotainment di negeri kita sungguh remeh, tak penting, tetapi membuat penonton menyukainya? Itulah trivialism!

Dengan gemar menyaksikan acara-acara infotainment, kita akan kehilangan kesempatan untuk menyadari substansi, perenungan, atau kedalaman dari hal-hal yang penting dan berguna, karena kita telah terbuai oleh hal-hal yang remeh saja. Yang lebih parah, muncul masalah etika karena banyak hal pribadi yang diangkat media ke wilayah publik melalui acara-acara infotainment. Banyak hal yang ditampilkan sangat mungkin melukai perasaan orang lain, amoral, dan tidak pantas.

Soal etika tampaknya dilupakan oleh media semacam ini. Sebab, selain pembuatnya kehilangan sensitivitas untuk menilai bahwa hal tersebut bermasalah, juga karena masyarakat menggemari santapan-santapan trivialism. Lalu, apalah artinya perjuangan media lain yang menjunjung kode etik dan menyuarakan kebenaran? [yustika]

Balapan

Gara-gara sering diajakin Mas Catur nonton, sekarang aku jadi suka banget lihat MotoGP. Dulu aku heran kenapa orang-orang bisa suka ngelihatnya. Wong cuma puter-puter seputaran sirkuit. Masih lebih asik nonton bola, pikirku.

Eh, ternyata belakangan ini aku jadi ketagihan. Kayaknya seru aja gitu, lihat orang balapan. Gimana ya, pokoknya asik deh. Seruuuuu... Jadi paham kenapa banyak yang suka. Malah sekarang aku sering sambil teriak-teriak nontonnya, persis kayak lagi nonton bola *hehe, piss*.

Kalau tentang jagoan sih, aku nggak punya favorit. Males ah ngejagoin Valentino Rossi, secara dia udah banyak fansnya dan udah keseringan jadi juara *hehe*.

Dongeng

Kok kayak dongeng aja ya, kisah-kisah hidup orang...

Mbak Retno ketemu suaminya *yang asli Bosnia* lewat chatting di internet. Setelah kenal di dunia maya, lewat proses-proses, akhirnya keduanya menikah. Mbak Retno akhirnya diboyong suaminya ke Bosnia. From chatting to wedding...

Titin ketemu suaminya juga lewat internet. Waktu itu Titin sekolah di Jepang dan Yudi, suaminya, sedang sekolah di Inggris. Bermula dari kunjungan-kunjungan ke blog masing-masing, lewat proses-proses, akhirnya keduanya juga menikah. From blogging to wedding...

Hmmm, kapan ya kisah hidupku kayak kisah dongeng. Ada nggak ya pangeran berkuda putih *hihihihihi*.

Kelebihan dan Kelemahan



Postingan ini oleh-oleh dari wawancara-wawancara kerja yang pernah aku lalui. Sering banget kan, kita ditanya mengenai kelebihan dan kelemahan diri pas wawancara semacam itu. Karena aku fresh graduate yang masih fresh banget, aku banyak-banyak nanya ke orang-orang yang udah lebih dulu punya pengalaman wawancara, gimana sebaiknya jawabannya.

Macem-macem sih jawaban mereka. Tapi rata-rata sama cara ngejawabnya. Baru nemu satu jawaban yang aneh ketika aku nanya seseorang *buat yang ngerasa, maap ya, jawabanmu jadi aku kaji lagi lebih mendalam*. Dia bilang, kalau ditanya soal kelemahan, dia jawab, ”Nggak punya kelemahan.” What? Nggak punya kelemahan? Seriously, WHAT?? Tidak mengenali diri sendiri atau cerminan sikap arogan?

Orang itu bilang, kalau kita mengakui diri kita punya kelemahan, kita akan terjebak pada suatu stereotip tentang diri kita yang lemah dalam satu hal tertentu, entah secara sadar maupun tidak sadar. Lalu ketika kelemahan itu muncul ke permukaan, kita akan memaklumi sikap dan perbuatan kita dengan kalimat ”ah, toh saya memang seperti itu”. Begitu alasan dia. Hmm, aku manggut-manggut. Tapi kan, tapi kan... masa jadi orang nggak punya kelemahan. Biar gimanapun, aku masih anggap itu sebagai sebuah arogansi. Lama-lama aku jadi mikir sendiri...

Aku membaca buku Personality Plus beberapa tahun lalu. Buku itu mengubahku dalam banyak hal. Setelah baca buku itu, aku jadi lebih mengenali diriku sendiri *dan tentu juga orang lain* lewat kelebihan dan kelemahan yang diuraikan. Selama ini aku ngerasa buku itu powerful banget dalam memahami orang. Pokoknya jadi panduan banget lah buat aku.

Eh, sama orang yang aku ceritakan di atas tadi, buku itu dicemooh habis-habisan. Dia bilang males lah baca buku itu. Buat apa memahami watak kalau jadinya malah hidup dalam kotak-kotak kepribadian yang kita nggak bisa keluar darinya, begitu alasannya. Dia nggak suka kepribadian orang dideskripsikan sebagai sesuatu yang jelas dan pasti. Karena itu tadi. Ketika kita terjebak dalam suatu stereotip mengenai kepribadian kita, kita akan memaklumi segala sikap dan perbuatan kita karena kita pikir, begitulah kita adanya. Benarkah? Hmmm...

Ini hipotesis baru yang selama ini belum pernah menyentak perhatianku. Menurutku nggak begitu sih. Karena ketika kita memahami kelebihan dan kelemahan, kita lantas bisa menyikapi kehidupan dengan cara yang lebih proporsional dan bijaksana. Tahu gimana harus bersikap dan bertindak berdasar kepribadian kita itu. Bukan begitu? Ya iya sih, selama ini aku emang sering menjustifikasi sikapku yang pesimis dan gloomy sebagai intisari kepribadian melankolis phlegmatis-ku, jadi kadang suka ngeyel kalau dinasehati supaya aku optimis dan ceria memandang hidup. Mungkin itu yang dia enggak suka. Tapi kan, tapi kan... kegunaan memahami watak juga banyak. Jangan jadi skeptis begitu dong.

So, apa jawabanmu ketika ada orang yang bertanya mengenai kelebihan dan kelemahanmu?

Setiap Hari

Aduh, sebentar lagi Ramadhan usai. Kok rasanya cepet banget ya. Hmmph, udah mulai terbiasa dengan rutinitas Ramadhan... eh, bentar lagi kelar. Kebetulan Ramadhan tahun ini kuhabiskan di rumah, jadi ceritanya full sama keluarga *aduh, tapi minus Mas Didik ding*.

Tiap hari bangun jam setengah tiga pagi, lalu bantuin Mami masak di dapur. Biasanya menjelang setengah empat acara masak-masak baru selesai. Santap sahur bareng keluarga diiringi dengan nonton Tafsir Al-Mishbah. Pengen cerita sedikit soal program acara yang satu ini.

Beberapa tahun belakangan ini, keluargaku jadi pelanggan setia acara Tafsir Al-Mishbah, karena beberapa tahun belakangan ini di rumahku gencar diadakan kampanye anti-nonton-acara-TV-yang-tidak-bermutu, dengan aku sebagai oratornya *hehe*. Berangkat dari keprihatinan yang mendalam mengenai acara-acara TV kita yang makin bobrok, sudah lama aku meniupkan semangat kebencian terhadap acara-acara yang tidak-ada-isinya. Maka sudah sejak lama pula TV di rumahku diwarnai dengan tayangan-tayangan Metro TV *saluran TV paling top di Indonesia* dan menghindari sinetron, infotainment, serta acara-acara hiburan yang tidak-ada-isinya.

Pengaruh acara-acara yang tidak-ada-isinya terhadap pola pikir dan gaya hidup masyarakat ternyata dahsyat lho. Kapan-kapan aku tulis deh. Alhamdulillah keluargaku sepakat untuk meninggalkan acara-acara semacam itu. Sejak dulu TV nggak pernah menjadi barang yang penting di rumah kami, jadi nggak masalah kalau TV dimatikan *terutama pas acara-acara yang tidak-ada-isinya tayang*.

Balik ke Tafsir Al-Mishbah. Program waktu sahur yang sarat dengan ilmu dan renungan ini dibawakan dengan apik oleh Quraish Shihab, narasumber favorit keluargaku. Sayang aku nggak tinggal di Jakarta. Kalau iya, aku pasti sudah rajin ikut kajian beliau di Masjid Sunda Kelapa. Acara ini jauh lebih bermutu dibanding acara sahur di TV-TV tetangga yang penuh dengan humor-tanpa-esensi *sampai pengen muntah ngeliatnya, apalagi yang ada Tessi-nya tuh*. Jadi sambil nunggu adzan subuh, biasanya keluargaku nongkrong di depan TV sampai Tafsir Al-Mishbah selesai, dilanjutkan dengan acara Sukses Halal & Syariah, masih di Metro TV.

Habis subuh biasanya aku tidur lagi sampai siang. Setelah bangun, bersih-bersih rumah sebentar, baca koran, nonton Oprah Winfrey Show, atau ngenet. Terus pergi jemput Yesti dari sekolah. Siang harinya nonton Ceriwis dan Wisata Kuliner. Lalu habis ashar, mulai berkutat lagi deh di dapur, bantuin Mami masak-masak lagi. Begitu terus tiap hari. Rada bosen sih, tapi mau gimana lagi. Namanya juga pengangguran *hehe*. Mau main ke rumah temen, mereka udah pada kerja.

Acara buka puasa sekeluarga juga nggak jauh-jauh dari Metro TV: sambil nonton Ensiklopedi Islam yang dibawakan Sandrina Malakiano *wah, sayang banget si mbak yang dulu pernah jadi the best Indonesian news anchor ini udah nggak jadi jurnalis lagi di Metro TV *. Lalu nonton berita Metro Hari Ini sebelum dan sesudah shalat maghrib. Pukul setengah tujuh lebih biasanya aku dan Yesti udah keluar rumah, melanjutkan tradisi tarawih sejak bertahun-tahun lalu. Tarawih di kampungku selalu ramai. Masjidnya makin bagus aja tiap tahun, alhamdulillah. Tapi sayang ramainya cuma pas Ramadhan aja.

Sekarang Ramadhan udah mau selesai. Masya Allah, kok rasanya belum cukup. Serba salah nih. Pengen cepet-cepet sampai ke dua minggu lagi, tapi kok nggak pengen Ramadhan-nya usai. Nah lho...

Thursday, October 12, 2006

Anggrek Bulan Milik Mami



Belakangan ini Mami rajin banget berkebun. Kebetulan taman di rumah emang habis dirombak. Liat deh anggrek bulan yang manis ini. Kapan-kapan aku liatin tanaman Mami yang lain.

Jalan-Jalan

KA Argodwipangga, Sabtu 1 Oktober 2006, 02.40 WIB

”Silakan,” kata pramugari kereta sambil menyodorkan sepiring nasi goreng dan segelas teh manis hangat ke hadapanku. Aku cuma menguap sambil mengucek-ucek mata. Jam segini udah dibangunin sahur, pikirku. Mana AC-nya dingin banget. Tengok kanan-kiri, penumpang lain udah mulai bersantap sahur. Ya sudahlah, dimakan aja.

Yup, guys. Pekan lalu aku kembali jalan-jalan. Kali ini ke Jakarta (lagi) dan Depok. Dari Solo naik KA eksekutif. Berhubung jarang banget naik KA eksekutif, aku jadi terbengong-bengong sendiri. Mulai dari tengok kanan-kiri untuk tahu gimana orang-orang nyetel sandaran kursi, kedinginan, sampai terheran-heran dengan cepatnya KA ini berjalan *tau-tau udah sampai Gambir aja*. Tiba di Gambir sesaat setelah subuh. Habis subuh langsung menembus udara pagi Jakarta menuju stasiun Jakarta Kota via busway untuk naik KRL menuju Depok. *Ma kasih buat Mas Catur yang udah jemput dan nganterin*

Siangnya, setelah meletakkan barang di rumah paman di Depok, aku dan Mas Catur jalan-jalan ke UI. Baru pertama kali nih ceritanya. Jadi tampangnya sama-sama kayak anak ilang. Celingak-celinguk ke sana ke sini, tanya-tanya, lalu ber-ooo ria. Ternyata UI panas ya. Serasa berada di dunia lain, secara masih banyak yang kayak hutan *hehe*.

Di tepi danau antara FIB dan FE UI, Selasa 3 Oktober 2006, satu jam menjelang buka

Di depanku, beberapa orang sibuk memancing. Di sampingku, Mas Catur sedang bercanda-canda nggak jelas. Duduk-duduk di tepi danau merasai angin sore yang sepoi emang terasa damai. Kulepaskan pandangan menuju bangunan-bangunan UI di kejauhan, lalu kutatap beberapa orang yang tengah memancing di atas jembatan penghubung di tengah danau.

Indah. Damai. Lalu senja merayap dengan temaram.

Senang banget rasanya melalui hari dengan damai. Menjelang buka, aku dan Mas Catur beli tiga gelas jus di stasiun KRL UI. Sambil nunggu KRL yang akan membawa Mas Catur pulang ke Jakarta, kami memesan nasi goreng dan mie goreng di salah satu warung di situ.

Nasi gorengku belum lagi habis ketika KRL Bogor-Jakarta datang. Mas Catur buru-buru berpamitan dan sosoknya tenggelam dalam kerumunan orang petang itu.

And one by one the nights between our separated cities are joined to the night that unites us.

(Pablo Neruda)


Sore terakhirku di Depok kuhabiskan dengan puter-puter UI naik sepeda motor. Keliling sambil liat-liat fakultas-fakultas di UI. Ngikutin angkot nomor 04 sampai Srengseng Sawah, perbatasan Depok-Jakarta. Lalu ngikutin arah baliknya sampai Margonda Raya, Depok. Kurang kerjaan? Nggak juga. Ini namanya eksplorasi *hehe* secara belum pernah ke Depok sebelumnya. Pernah sih, tapi itu pas aku TK *sama aja boong kan*.

Jalanan Jakarta, Jumat 6 Oktober 2006, dua jam menjelang buka

So here I am. Paman nganterin aku ke Gambir naik mobil. Tadinya aku mau naik KRL ekspres Depok-Gambir, tapi ternyata malah dianterin langsung. Ya sudah, alhamdulillah. Itung-itung sambil jalan-jalan liat Jakarta.

Jalanan emang sedikit macet, tapi tentu nggak separah ketika pagi hari. Di sampingku, Arif --sepupuku yang masih TK-- sibuk nyanyi ngikutin kaset Radja sambil pake kacamata item milik ayahnya. Oalahh, dasar zaman sekarang. Anak kecil aja udah hapal lagunya Radja. Ikutan pake kacamata item pula... duh duh duh...

Sempat ketemu Mas Catur sebelum kereta berangkat. *Ma kasih ya, Mas... udah nyempatin datang* Aku naik KA eksekutif lagi, tapi kali ini KA Argolawu. Celingak-celinguk lagi, bengong-bengong lagi *oalahh, dasar ndeso, hehe*. Lumayan menyenangkan jalan-jalan kali ini. Jadi ngerasain naik KRL, jadi tau Depok dan UI. It was a whole new experience.

UPDATE:
Oh ya, aku sempet lewat beberapa kali di depan kosnya Nicholas Saputra *hihihi* yang letaknya di seberang pagar FT UI. Sempet pula liat mobilnya *nggak penting banget sih*. Untung aku bukan fans dia. Jadi nggak perlu tercengang-cengang *huahahaha*.

Mami

Pernah nggak baru pulang kampung dua hari, udah dimarah-marahin sampai berlinang air mata? Aku sering *hehehe*. Dimarahi sama sapa lagi kalau bukan sama Mami. Kuingat-ingat, aku belum pernah sekali pun menulis tentang Mami di blog ini. Kali ini pengen cerita sedikit ya.

Mami-ku orang Jawa tulen. Pengaruh kejawaan Eyang sangat kental, tapi kejawaan Mami termasuk yang moderat *halah bahasanya*. Kalau Eyang masih demen dengan keris-keris dan ritual adat, Mami justru menolaknya dengan halus. Kalau kata Mami sih lebih karena faktor kepraktisan, tapi jauh dalam hati aku tahu kalau sebenarnya Mami nggak setuju dengan praktek-praktek adat yang jauh dari Islam.

Dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu sebagai sulung dari sembilan bersaudara membuat masa muda Mami nggak pernah mudah. Eyang nggak pernah punya rumah. Semasa menjadi pegawai PJKA, Eyang sekeluarga tinggal di rumah dinas. Setelah pensiun, mereka hanya mampu mengontrak rumah petak di tengah kampung. *Bahkan Mami pernah bercerita kalau gorden penutup jendela pun mereka enggak punya* Ketika udah bekerja dan menikah, Mami masih harus membesarkan dan membiayai sekolah adik-adiknya.

Nggak heran Mami tumbuh menjadi seseorang yang keras, tegas, tegar, mandiri, soliter, dan koleris abiss. *Kadang sampai keliatan galak, hehe* Semasa kecil tidak pernah diajarkan tentang ilmu agama sama Eyang, jadi Mami belajar agama dari lingkungannya, salah satunya dengan cara ikut-ikutan temannya mengaji di surau. Faktor ke-kurang-materi-an *aku nggak mau menyebutnya: faktor kemiskinan* membuat masa remajanya akrab dengan minder dan depresi. Alhamdulillah Mami mampu bangkit dan sedikit-sedikit mencoba mencari uang sendiri dengan membantu temannya berjualan.

Sekarang Mami merupakan sosok wanita karir yang cukup sibuk. Sejak aku kecil, aku ingat selalu ditinggal Mami bekerja. Meskipun statusnya cuma sebagai guru / PNS, Mami juga punya karir sosial yang menuntut Mami selalu sibuk. Kalau ditanya alasan kenapa Mami bersibuk-sibuk di luar rumah *ini yang membuat aku kesal karena aku merasa masa kecilku sering terlewatkan oleh Mami*, Mami cuma menjawab agar anak-anaknya berkecukupan dengan uang yang Mami hasilkan. Mami nggak mau anak-anaknya punya masa kecil yang sama dengannya.

Begitulah Mami-ku. Semenjak aku lulus, nasehat yang selalu terngiang darinya adalah supaya aku lekas bekerja demi punya penghasilan yang bisa mencukupi keluarga dan untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu dengan suami. Nasehat yang sarat dengan spirit mandiri dan aktualisasi diri.

Lalu kenapa Mami sering marah-marah ke aku? Nggak tahu deh. Rasanya cara berkomunikasi kami emang kadang nggak nyambung. Aku yang sensitif, seringkali nangis menghadapi Mami yang keras. Udah gitu, menurut Mami, aku ini anaknya yang paling pemberontak dan bandel *hehe* jadi harus dikerasin. Butuh waktu yang lama untuk menjadikan aku nyambung dengan Mami. Hubungan yang udah ada sekarang ini aja bukan hubungan yang sim salabim, tapi butuh waktu bertahun-tahun. *Dulu waktu remaja aku lebih dekat ke Papi* Kayaknya emang proses ini bakalan lama. Hubungan kami yang seperti ini juga bikin aku bertekad: kelak aku pengen dekat sama anak-anakku. Bisa jadi sahabat buat mereka, tempat berbagi apapun dan kapanpun, serta selalu ada bila mereka butuh. Aku nggak pengen punya hubungan yang berjarak dengan anak-anakku kalau kelak aku jadi bunda.

Terlepas dari semua itu, aku sangat bangga dengan Mami. Tak bisa kupungkiri, Mami punya andil besar dalam hidupku. Kalau nggak ada Mami, mungkin aku bakalan lebih cengeng daripada sekarang. Mami mengajariku tentang nilai-nilai kehidupan, terutama tentang bagaimana seorang wanita menjadi mandiri sehingga nggak dipandang remeh oleh orang lain. *Masih inget nggak, Mi... Mami bela-belain maksa aku belajar naik sepeda dan sepeda motor supaya bisa ke mana-mana sendiri, nggak jadi beban buat orang lain* Ma kasih, Mami. Love you so much...