Wednesday, April 26, 2006

Tugas Akhir


Ah, ’All things come to those who wait.’ They come, but often come too late. (Lady Mary M. Currie, Tout Vient a Qui Sait Attendre, 1890)

Kali ini aku pengen cerita sedikit tentang TA-ku. Setelah beberapa minggu kabur-kaburan dari dosen pembimbing, akhirnya Rabu minggu lalu ketemu juga dengan si bapak. Karena udah kelihatan kerangka besarnya (ya iyalah, Pak... masa udah beberapa bulan belum kelihatan tentang apa...), aku disuruh presentasi sama si bapak di depan anak-anak lain minggu ini.

TA-ku tentang pengaruh perbedaan metode channel sharing dalam hybrid switching terhadap delay paket pada jaringan GSM/GPRS. Kedengarannya keren ya, hihihi... padahal aslinya cuma ngubek-ngubek rumus teori sistem antrian trus disimulasikan pakai MATLAB. Lalu hasilnya dianalisis.

Teori sistem antrian (queueing systems theory) merupakan teori dasar yang dipakai dalam kuliah Rekayasa Trafik. Berkat Erlang, Poisson, Markov, dan lain-lain, saat ini kita bisa memodelkan dan menyederhanakan peristiwa ngantri menjadi simbol-simbol matematis. Thanks to them. Hmmm, jadi ingat sama unit Akarna ISEA-nya Wisnu OPS, yang kegiatannya juga ngubek-ngubek matematika dan linguistik untuk menjelaskan fenomena alam dan sosial yang ada di dunia ini.

Menurut D.G. Kendall, model antrian sederhana dapat dinyatakan dengan simbol A/B/C/D di mana A = pola kedatangan panggilan (λ), B = pola waktu pendudukan (1/µ), C = jumlah server/kanal/saluran, dan D = jumlah buffer ditambah dengan jumlah maksimum kanal/server.

Nah, TA-ku membahas delay antrian pada node BTS, dengan ketiga skema channel sharing yaitu skema fixed sharing, partial sharing, dan complete sharing. Pada fixed sharing, sel kanal N secara statis dibagi menjadi dua bagian: satu bagian digunakan untuk panggilan suara dan bagian yang lainnya untuk trafik data. Model yang digunakan adalah model matematis sistem antrian M/M/n/n untuk layanan suara (sistem GSM), di mana n = jumlah server untuk suara, sedangkan untuk untuk layanan data (sistem GPRS) digunakan sistem antrian M/M/n/K, di mana n = jumlah server untuk data dan K = jumlah buffer BSC (B) ditambah jumlah maksimum kanal GPRS (NGPRS).

Pada partial sharing, kanal ndata disediakan untuk trafik data pada saat kanal sisa (N – ndata) dibagi oleh panggilan suara dan trafik data. Panggilan suara memiliki prioritas yang lebih tinggi (didahulukan) dari pada paket data. Demikian jika seluruh kanal sibuk, panggilan suara yang masuk akan menduduki terlebih dahulu kanal yang digunakan untuk trafik data, jika jumlah kanal yang digunakan oleh trafik data lebih besar daripada n. Jika kanal tersedia, panggilan data akan mendapatkan kanal bebas berdasarkan prinsip first come first served (FCFS).

Pada complete sharing, seluruh kanal yang tersedia dibagi oleh panggilan suara dan trafik data dengan cara circuit switched service diasumsikan memiliki prioritas lebih tinggi dibandingkan data service. Jadi partial sharing sama dengan complete sharing dengan ndata = 0.

Nah, ketiga macam hybrid switching di atas memiliki dampak yang berbeda terhadap delay paket. Layanan GPRS sangat bergantung kepada jumlah pemakaian kanal pada GSM. Hal ini dimodelkan pada pemakaian kanal bersama antara GSM dan GPRS. Dari pemodelan yang udah aku bikin di atas, aku turunin rumus dari state diagram-nya, lalu aku bikin programnya pakai MATLAB. Intinya, dengan MATLAB ini aku lalu menganalisis perbedaan ketiga macam hybrid switching itu dilihat dari beberapa parameter seperti delay paket, probabilitas voice blocking, dan lain-lain.

Fiuuuhhhhh, semoga bisa wisuda Juli ya. Amin!

Oh, Rumput Tetangga...

Habis baca-baca blog-nya Mbak Retno, kenalan asal Kediri yang kini tinggal di Bosnia karena suaminya asli sana, aku jadi teringat impian-impian masa lalu. Di blog itu pula aku bersentuhan dengan kisah hidup Mbak Retno yang seperti dongeng. Dia dan suaminya bertemu via internet. Sama-sama muslim, berkenalan, kemudian menikah. Akhirnya Mbak Retno mengikuti suaminya ke negeri jauh. Benturan budaya justru menjadi pernak-pernik yang menarik dalam hidupnya.

Lalu barusan aku baca tentang cerita Mbak Retno menjodohkan temannya asal Bandung dengan pria muslim Denmark, setelah sang pria meminta tolong mencarikan calon istri muslimah. Mereka dikenalkan, dan akhirnya menikah.

Weeeiii... dulu kayaknya aku juga pernah bermimpi bersuamikan pria muslim asal Eropa. Inggris tepatnya. Sejak jatuh cinta dengan FA Premier League, aku kepengen banget pergi ke Inggris. Kayaknya negerinya asyik ditinggali. Sampai mati-matian belajar segala sesuatu soal Inggris. Sampai mati-matian pula surfing ke chatroom-chatroom muslim internasional. Tapi ketemunya malah keseringan sama orang-orang Asia Selatan dan Timur Tengah kayak India, Pakistan, Bangladesh, Iran, Arab. Nggak selera banget. Eh, sempat ketemu sama pria muslim Prancis ding (waktu itu kita rame banget ngomongin Piala Eropa). Tapi usut punya usut, ternyata dia imigran asal Pakistan. Yehhh, sama aja bo’ong.

Hahahaha... kalau dipikir-pikir lagi, gila ’kali ya, aku waktu itu. Seperti pungguk merindukan bulan. Eh, tahu-tahu malah dapat kenalan Mbak Retno yang kisah hidupnya asli kayaknya asyik banget: tinggal di negara empat musim, ketemu salju, belajar hal-hal baru, bersuamikan bule muslim pula, hehehehe. Jadilah aku yang udah mupeng, makin mupeng. Rumput tetangga emang selalu kelihatan lebih bagus.

Nggak tahunya aku malah dapat orang Jawa asli! Nggak jauh-jauh: masih satu daerah asal, masih satu SMU, hehehe. Bahasa Jawa-nya: pek-nggo alias ngepek tonggo alias... (Bahasa Indonesia-nya ngepek apaan sih?) Pulang kampung bareng, ngobrol nyambung dengan segala ke-medhok-an kita, satu-selera satu-rasa satu-budaya.... weiiiii, ternyata asyik ’kali pun! Hahahaha... Piss ya, Mas Catur!

[alhamdulillah wa syukurillah... that I’ve found you...]

Kecanduan Internet

Beberapa waktu lalu ketika aku pulang ke Solo selama sepekan, ada satu aktivitas baru yang aku lakukan: nongkrong di depan notebook Papi yang tersambung internet via Telkomnet Instant.

Gara-garanya, Mas Catur pulang bawa notebook-nya dan asyik ngebujukin aku untuk online dari rumah. Beberapa hari pertama, aku sempat pusing luar biasa karena notebook Papi gagal tersambung internet. Nggak tahu kenapa, sampai bertengkar sama Mas Catur gara-gara nggak nemu masalahnya. Sempat pinjem notebook Mas Catur sebentar buat online, sebelum akhirnya bertekad ngubek-ngubek notebook Papi buat nemu masalah kenapa nggak bisa tersambung.

Setelah ngubek-ngubek selama dua jam lebih --cek konfigurasi dan port-- akhirnya ketahuan deh letak masalahnya. Ternyata port modem internal sama port saluran teleponnya nggak nyambung, Saudara-Saudara! Port-nya beda, makanya nggak bisa konek meski udah di-dial. Oalahh, dasar anak komputer yang gaptek, huahahahahaha...

Langsung deh, begitu udah bisa nyambung internet --terdengar dial tone dan suara twiiiiwiwiwiwiwiiiiittttttttt-- aku jadi kecanduan internet. Maunya tiap jam online. Nggak mikirin biaya sama sekali, padahal kan mahal banget, bo! Untung Papi lagi keluar kota. Kalau nggak, bisa dimarahin habis-habisan.

Pas weekend, Papi pulang. Si Yesti langsung lapor ke Papi kalau sepekan aku udah online terus. Wihh, Papi sempat negur. Tapi untung nggak marah-marah, hehehehe. Dengan tampang dimelas-melasin aku merajuk manja, ”Kan kalau weekend cuma enam ribu rupiah per jam, Pi.” Eh, di belakangku si Yesti menimpali, ”Iya, tapi makainya udah sejak beberapa hari sebelum weekend.” Huaduhh, ketahuan deh...

Ah, siyyal. Sekarang aku merasa bersalah banget. Pasti tagihan telepon di rumah bulan ini melonjak hebat. Huhuhu... maafkan anakmu ini ya, Pi. Kenapa sih di Indonesia teknologi masih menjadi barang mahal? [Ada yang bisa jawab???]

Wednesday, April 19, 2006

Menghargai Sejarah

Barusan aku nonton tayangan dokumenter National Geographic Special berjudul Raising USS Monitor. Keren banget. Tayangan ini mendokumentasikan pengangkatan artefak arkeologis dari bangkai kapal USS Monitor yang sudah terkubur selama 140 tahun di kedalaman 230 kaki di sekitar Tanjung Hatteras, Hampton Roads, Amerika Serikat. USS Monitor adalah sebuah kapal legendaris zaman Perang Saudara (Civil War) yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Amerika.

Waktu itu, sekitar tahun 1860-an saat berkecamuknya Perang Saudara, pasukan Konfederasi membuat kapal besi pertama dalam sejarah Amerika yang diberi nama CSS Virginia. Hal ini membuat pemerintahan Lincoln geram dan merasa perlu membuat kapal yang lebih dahsyat untuk memenangkan pertempuran laut. Diarsiteki oleh engineer keturunan Swedia bernama J. Ericsson, pemerintahan Lincoln membuat kapal besi tercanggih pada zaman itu, bernama USS Monitor.

Dibuatnya kapal CSS Virginia dan USS Monitor menandai era baru pertempuran laut. Hancurnya kapal-kapal kayu kedua pihak oleh meriam kedua kapal tersebut akhirnya mempertemukan mereka dalam sebuah pertempuran laut penting. Mengapa penting? Karena pertempuran tersebut adalah pertempuran laut pertama antara kapal besi versus kapal besi. Pertempuran penting ini menandai perubahan sejarah kapal laut Amerika, bukan hanya masalah teknis, melainkan juga tentang strategi peperangan dan pertahanan laut. Pertempuran itu akhirnya berakhir setelah berjam-jam saling menembakkan meriam, tanpa diketahui siapa pemenang pastinya. Gambar di samping ini adalah ilustrasi pertempuran antara kedua kapal tersebut.

Pada tahun 1862, dalam sebuah badai besar di Tanjung Hatteras, sejarah USS Monitor berakhir dengan karamnya kapal tersebut. Sebagian besar awak kapal selamat, tetapi sebanyak 16 orang dinyatakan hilang. Seorang awak kapal menulis, ”USS Monitor is no more. Badai telah melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh kapal musuh.”

Nah, tayangan dokumenter yang aku ceritakan di awal mengisahkan pengangkatan artefak yang merupakan bagian penting USS Monitor, yaitu menara meriamnya. Menara meriam ini dilapisi oleh delapan lapis pelat baja yang masing-masing berukuran satu inci. Sejumlah baling-baling dan beberapa bagian kapal telah diangkat dan dikonservasi beberapa tahun sebelumnya. Sekedar catatan, lokasi pasti USS Monitor ditemukan pada tahun 1970-an setelah bertahun-tahun para peneliti mencari-cari lokasi kapal ini di antara banyak bangkai kapal di Tanjung Hatteras.

Tim yang melakukan pengangkatan artefak menara meriam ini telah bekerja selama 41 hari, berlomba-lomba dengan badai dan arus laut yang kencang, sebelum akhirnya berhasil mengangkat menara meriam seberat 120 ton dari dasar laut. Alat yang digunakan dalam ekspedisi ini sangat mahal, berupa sebuah alat pengangkat berbentuk kaki laba-laba seberat 80 ton lebih. Tim melibatkan tenaga-tenaga ahli di bidangnya, termasuk penyelam-penyelam hebat dari AL Amerika.

Di dalam reruntuhan kapal dan menara meriam, ditemukan dua jenazah awak kapal yang ikut terkubur bersama karamnya kapal 140 tahun lalu. Dua jenazah ini selanjutnya akan dites DNA --karena itu dalam tim ini juga bergabung ahli forensik-- untuk proses identifikasi. Berlabuhnya kapal ekspedisi --yang mengangkut artefak menara meriam dan dua jenazah-- ini di Hampton Roads disambut dengan upacara militer dan tembakan meriam AL Amerika.

Hmm, jujur aku terkesan oleh tayangan ini. Inilah sebentuk nyata kisah tentang sebuah bangsa yang sangat menghargai sejarahnya. Bagaimana mereka berusaha mengkonservasi bagian dari sejarah agar bisa diwariskan kepada anak cucu, bagaimana mereka menghormati jenazah tentara yang sudah terkubur selama 140 tahun... mengapa bangsa kita tidak bisa mencontohnya?

Jadi teringat nasib kapal nasional kita --Pinisi, masih ingat namanya?-- yang karam beberapa tahun lalu dan tidak ada yang ambil peduli. Padahal kapal ini telah mengharumkan nama Indonesia dalam berbagai pelayaran ekshibisi tingkat internasional pada tahun 1990-an.

Sayup-sayup aku mendengar nyanyian dari masa kanakku, ”Nenek moyangku orang pelaut...”

Tanpamu

Rasanya seperti ditinggalkan olehmu. Ini tentu terasa berat akibat ketergantungan padamu yang sudah menjadi seperti kebiasaan selama hampir setahun ini. Sebelum kau hadir, I used to be so independent. Kini tanpamu, aku tak bisa membantu diriku sendiri menemukan kekuatan dan rasa percaya diri yang kubutuhkan untuk menjadi mandiri. Kadang-kadang bila aku merasa kau tak ada untukku, aku bahkan tak yakin akan bisa melakukan hal-hal paling sederhana sekalipun.

Aku tahu suatu saat aku harus merelakanmu pergi. Aku hanya tak tahu bagaimana menghadapinya.

Jahat

Sudah lewat beberapa waktu lamanya sejak aku membuat keputusan penting itu. Tadinya aku pergi dengan kepala tegak atas dasar keyakinan mantap tentang sebuah pilihan hidup. Meskipun kini kalau aku mencoba jujur pada diri sendiri, aku bisa bilang kalau waktu itu aku juga pergi karena sebuah luka akibat kekecewaan dan ketidakpercayaan.

Aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Aku harus bersedia menerima orang lain memutuskan apa yang harus kulakukan. Aku membiarkan orang lain mendominasi jalan pikiranku. Kreativitasku dibatasi. Keinginanku tak pernah menemukan muaranya. Aku harus menekan batin atas nama keikhlasan dan atas nama ”yang lebih tahu”.

Aku muak. Aku letih. Aku bosan dengan kepalsuan bertopeng senyum. Aku capek dengan campur tangan urusan orang atas nama Tuhan. Maka aku pergi. Itu sebabnya.

Sekarang aku merasa jadi orang jahat. Jengah dengan prasangka dan pandang menuduh. Terkadang hati ini rindu, tapi luka itu lebih membuatku mundur.

[mode sedih]

Favorite Quote

”Great friends don’t take no for answers.” (Bree Van de Kamp, Desperate Housewives)