Thursday, July 28, 2005

Supermom

Iseng-iseng ikut tes Supermom Strength di www.tickle.com. Wah, moga-moga jadi bunda beneran yang seperti itu. Ini hasilnya.

"You're a smart, social person who probably likes to have deep conversations, read books and magazines, and have a little think time to yourself. That's why we're not surprised that when it comes to motherhood, your super strength lies in your ability to connect with your kids.
Whether you're listening to them talk about their favorite music, sharing funny memories from the past with them, or mapping out your next family adventure together, you're a mega-involved mama who really likes to know everything that's going on in your children's lives. After all, if they keep you up-to-date on the small stuff, they're probably more likely to open up when they need help with the bigger decisions in their future, too, right? Not only that, but you know that by teaching them to be articulate and engaged conversationalists, you're giving them good social skills that will pay off for the rest of their lives. Nice work!"

Thursday, July 21, 2005

Cerita dari Bali [2]

Kuta, Bali

Sunset di Kuta, Bali [1]

Sunset di Kuta, Bali [2]

Bedugul, Bali [1]


Bedugul, Bali [2]

Sampan Dayung di Bedugul, Bali


Tanah Lot, Bali [1]


Tanah Lot, Bali [2]

Cerita dari Bali [1]

Selama tiga hari, dari 15-17 Juli, alhamdulillah saya berkesempatan mengunjungi Bali kembali. Kunjungan ini sebenarnya masih termasuk rangkaian Kuliah Kerja EL 2001 keliling Jawa-Bali. Yah, itung-itung liburan. Mencari suasana yang berbeda, mencoba mengakrabi alam, sembari berbenah mencari inspirasi.
Ketapang, Banyuwangi

Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk


Nusa Dua, Bali [1]


Nusa Dua, Bali [2]


Nusa Dua, Bali [3]


Siap-Siap Parasailing di Nusa Dua, Bali [1]


Siap-Siap Parasailing di Nusa Dua, Bali [2]


Siap-siap Parasailing di Nusa Dua, Bali [3]


Pura Uluwatu [1]


Pura Uluwatu [2]

Monday, July 11, 2005

TransJakarta


Kemarin main-main ke Jakarta. Pengen lihat Manchester United Restaurant & Bar di Sarinah Thamrin sekaligus nyobain TransJakarta untuk pertama kalinya. Dari Cikarang naik bus sampai Polda Metro, trus ganti TransJakarta sampai Sarinah Thamrin.
Dari Sarinah Thamrin, pengen nerusin ke Blok M buat ketemu temen. Nah, pas naik TransJakarta dari halte di depan Sarinah, ada kejadian lucu (atau memalukan? hehehe).
AKU KEJEBLOS DI KOLONG ANTARA BUS DAN HALTE, euy!! Alamak malunya. Gara-garanya aku sibuk ngelihatin tas dan sembarangan nglangkahin kaki. Pikirku sih udah menginjakkan kaki dengan benar di lantai bus, tak tahunya malah kejeblos di kolong. Posisi jatuhnya asli lucu banget. Satu kaki menggantung di kolong, satu kaki nyangkut di atas. Satu tangan megang lantai bus, satu tangan megang tas. Mana aku sempet telmi nggak tau apa yang sedang terjadi. Rasanya tiba-tiba aja tanah ambles. Tau-tau udah ngegeletak di bawah dan orang-orang pada ngelihatin.
Baru sadar kalo aku jatuh pas ada orang yang ngangkat aku [iya euy, saking nggak sadar kalo jatuh jadi nggak berdiri sendiri] sambil bilang, "Kalo jalan lihat-lihat, Mbak." Itupun nggak tau siapa yang ngangkat. Entah mas penjaga pintu TransJakarta, entah bapak penumpang di belakangku.
Sepanjang jalan sampai Blok M, aku dan seorang kawan yang menyertai perjalanan itu, nggak henti-hentinya ketawa terpingkal-pingkal. My first trip on TransJakarta bener-bener jadi kenangan tak terlupakan. Oleh-oleh super lucu (atau memalukan? hehehe) dari Jakarta.

Aturan Offside Baru

Berdasarkan peraturan baru, seorang pemain yang tidak menerima bola tidak otomatis berdiri dalam posisi offside kendati ia berdiri melewati bek terakhir lawan. Ini kemudian dikenal dengan istilah offside pasif. Jadi, wasit mempunyai kebebasan lebih untuk menginterpretasikan apakah pemain itu ikut campur dalam permainan atau tidak.
Fuiihh, susah bener aturan ini. Kayaknya aku sepakat sama pelatih Jerman Juergen Klinsmann, pelatih Tunisia Roger Lemmere, juga kiper Jerman Oliver Kahn, bahwa peraturan baru ini emang bikin susah. Akan ada banyak pemain lawan yang berdiri di depan gawang, sementara kiper bisa bingung: pemain mana yang akan diinterpretasikan offside oleh wasit.
Aturan offfside yang lama emang yang paling precise.

Tuesday, July 05, 2005

Seorang Istri

Membaca rubrik Sosok pada Harian Kompas 29 Juni 2005, saya merasa terharu. Rasa itu lalu membawa saya pada perenungan panjang tentang makna seorang istri bagi suaminya.

Rubrik itu bercerita tentang Soekanto SA (75), seorang penulis cerita anak legendaris di negeri ini. Namanya langsung mengingatkan kita pada Si Kuncung, majalah anak pada akhir tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1970-an. Selain bercerita tentang hidupnya sebagai penulis cerita anak, ia juga sedikit berkisah tentang Surtiningsih, almarhumah istrinya, yang meninggal 3 Mei lalu dalam usia 67 tahun.

”Saya ini ’selamat’ karena ’digembala’ Ibu,” ujarnya, tersenyum. ”Dia keras, disiplin, dan tak bisa ditawar dalam prinsip. Rapor anak boleh merah, tetapi tidak akhlaknya. Dia sangat peka terhadap penderitaan orang lain dan selalu memberi contoh bertindak kepada kami.” Ia terdiam. Lalu memandang lurus tamunya dan berkata, ”Kita bicara hal-hal yang menyenangkan saja ya...”

Santi WE, satu dari lima putrinya, mengatakan bahwa tidak mudah bagi ayahnya ditinggal sang ibu. Bagi Soekanto, Surtiningsih bukan sekedar istri dan ibu dari sembilan anak mereka. Di dalam diri almarhumah, Soekanto yang memiliki ijazah sarjana di bidang keuangan negara menemukan kekuatan untuk menjalani hidupnya sebagai penulis. Surtiningsih juga dikenal sebagai penulis cerita anak pada zamannya.

”Kami bersyukur dengan hidup yang sangat sederhana sehingga, alhamdulillah, semua anak kami hidup produktif. Mereka rukun, saling mengasihi, saling membantu,” sambungnya. Itulah kebanggaannya, kebahagiaannya. Harapannya ke depan sangat bersahaja, seperti perjalanan hidupnya. ”Mudah-mudahan akhir hidup saya dipandang-Nya sebagai akhir yang baik. Saya boleh bertemu lagi dengan kekasih dan pendukung saya sepanjang hidup, istri saya,” tuturnya.

Ingin benar saya menjadi istri semacam itu. Menjadi pendukung utama suami, menjadi kekasih sepanjang hidup, dalam suka dan duka. Saling menguatkan, melengkapi, dan bahu-membahu dalam menghadapi hidup. Saling menjaga kasih, kehangatan, dan kebersamaan sampai usia senja. Kala hidup disayang dan dibutuhkan, kala tiada dirindukan. Agaknya, pepatah ”di belakang seorang laki-laki hebat selalu ada perempuan hebat” menjadi begitu benilai maknanya.

(Pfff, menulis tulisan ini benar-benar membuat mata saya berkaca-kaca...)

Kampung Halaman

Pulang, kenangan, dan kerinduan. Tiga kata tak terpisahkan yang senantiasa mendesak-desak ruang rasa tiap kali kembali ke suatu tempat yang kita anggap rumah. Karena tiga kata itu pula yang membedakan pengembaraan dan keberlabuhan, kelelahan dan kenyamanan, keterasingan dan kebersamaan.

Hari-hari ini ketika saya berkesempatan mengitari kota Solo kembali, ada sebongkah rasa haru membuncah. Solo masih sedamai yang dulu. Solo masih tetap menjadi kota yang tak pernah tidur, dengan banyaknya warung hik --warung gerobak sederhana yang buka malam hari-- bertebaran di seantero kota. Di situ orang-orang berkumpul melepas penat sehari sambil bertukar pikiran, bercanda, dan wedangan, juga sesekali mencomot kikil goreng atau tempe bacem.

Solo juga masih sebersahaja yang dulu. Meskipun resto-resto beken semacam Pizza Hut atau McDonald mulai membuka gerai-gerai baru, orang-orang masih suka pergi beramai-ramai ke warung lesehan di pinggir-pinggir jalan. Di Solo, beberapa warung pinggir jalan malah lebih beken dibanding resto-resto beken, seperti warung tenda sepanjang Kota Barat, warung susu segar asli Boyolali, warung jagung bakar di depan Kantor Pos Besar, warung masakan ayam di Purwosari, warung nasi liwet di bilangan Keprabon, warung hik Mbok Gerok di depan Ursulin, atau warung hik Pak Kumis di Manahan. Orang-orang harus berebut tempat dan mengantri lama kalau ingin bersantap di tempat-tempat itu.

Bicara tentang Solo juga berarti bicara tentang sejarah panjang sebuah kota. Mulai dari kerajaan Mataram yang terbagi dua menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta (Solo) lewat perjanjian Giyanti, sampai terbaginya Keraton Surakarta menjadi Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Bangunan-bangunan tua bersejarah beserta ritual adat kejawaan seolah menjadi budaya yang tak terpisahkan dari desah nafas masyarakat Solo.

Desing-desing akrab bahasa Jawa medhok yang selama ini asing di ranah Sunda, dapat dengan mudah saya ditemui di berbagai penjuru kota Solo. Kesopanan dan kehalusan bahasa yang menjadi ciri orang Solo selalu membuat saya merindukan kota ini habis-habisan. Bukan merupakan hal yang aneh lagi ketika seorang sopir angkot atau sopir bis kota berbahasa krama kepada penumpangnya. Sapaan-sapaan seperti “Badhe tindak pundi, Mbak?” atau “Mandhap mriki, Mbak?” menjadi biasa bertebaran di dalam angkot dan bis kota. Bahkan kemarin saya masih tercengang-cengang ketika membayar angkot, kakek tua yang menyopirinya tersenyum mengangguk sambil berkata, “Nggih. Maturnuwun, Mbak.

Sayangnya, tidak selamanya Solo bersikap stagnan. Kerinduan saya pada kota ini sedikit menipis kala menyadari adanya perubahan-perubahan signifikan. Solo jadi seperti kehilangan karakteristik khasnya: pusat-pusat perbelanjaan megah dibangun di sana sini; gaya hidup masyarakat lambat laun telah menggeliat menjadi lebih konsumtif dan borjuis; sikap masyarakat yang cenderung nrima mulai berubah menjadi lebih egois, semau gue, dan sulit diatur (masih ingat bagaimana Solo luluh lantak saat kerusuhan Mei 1998?); jumlah sepeda motor mulai tersisih oleh banyaknya mobil berseliweran akibat gengsi yang berlebihan; atau yang paling menyedihkan, lunturnya kebanggaan berbahasa Jawa di kalangan generasi muda (terutama usia pelajar). Saya sering geleng-geleng kepala menyaksikan mereka lebih merasa akrab berbincang dengan bahasa Indonesia. Tak ada salahnya memang, tapi kalau lantas mereka mulai meninggalkan bahasa Jawa sama sekali, pasti ada yang salah dengan “kejawaannya”. Jangankan berbahasa krama kepada orang tua, berbicara Jawa dengan teman sebaya saja mereka masih terbata-bata. Ck… ck…

Yah, berubah atau tidak berubah, Solo masih tetap kota kelahiran saya. Meskipun kedamaian dan kebersahajaan sedikit demi sedikit mulai terkikis, saya berharap masih ada nilai-nilai adiluhung bertahan dari generasi ke generasi. Saya tahu Solo tidak berubah sendirian. Mungkin demikian juga halnya dengan kota-kota lain di tanah Jawa yang dulu tampak sangat proletar dan tradisional. Berpuluh-puluh tahun ke depan saat Solo (mungkin sudah) kehilangan wajah aslinya, saya akan tetap punya kenangan manis tentang kejawaan, kedamaian, dan kebersahajaan kota ini. Dan kenangan itu pulalah yang akan selalu membawa saya menjejakkan kaki kembali di kota ini.

Menghargai Perbedaan

Setahun belakangan ini, saya belajar banyak tentang menghargai perbedaan. Selama beberapa tahun sebelumnya, saya rasa saya begitu childish menyikapi perbedaan. Pola pikir yang homogen dan cara pandang yang sempit menjadi sudut pandang saya dalam memandang berbagai hal. Hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat saya, langsung saya tuding salah dan saya tolak mentah-mentah.

Sejak bergabung dengan sebuah komunitas setahun silam, saya merasa lebih dewasa dalam memandang perbedaan. Saya bongkar habis-habisan pola pikir yang homogen dan cara pandang yang sempit itu. Saya belajar dari karakter mereka yang heterogen, bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi masalah besar. Saya banyak bertanya, berdiskusi, mendengar, dan membaca. Kunci menghargai perbedaan ternyata sederhana saja: open minded dan tidak menghakimi. Dengan dua hal itu saja, kita mampu memandang berbagai hal dengan cara yang berbeda. Akibatnya, kita lebih mudah berempati dan memahami orang lain. Kita tidak akan merasa paling benar. Kita akan merasa nyaman berada di mana saja tanpa merasa tidak aman terhadap konfrontasi yang berlebihan. Wacana berpikir kita pun menjadi lebih luas. Sebuah pembelajaran yang sangat berharga.

Sayangnya, saya masih sering bertemu dengan orang-orang yang kurang dewasa dalam menyikapi perbedaan. Mereka senantiasa menghakimi dan tidak mau berusaha memahami orang lain dengan cara pandang yang berbeda. Betapa membosankan dan menyebalkannya bertemu dengan orang-orang seperti ini. Mungkin mereka terlalu lama berkubang dalam sebuah komunitas homogen yang menjunjung tinggi keseragaman...

(Wake up, Guys! Get real! Nggak usah hidup di dunia kalo nggak mau ketemu sama yang namanya perbedaan.)

Otak Kanan Versus Otak Kiri

Benarkah manusia bisa dikotak-kotakkan sedemikian simpel berdasar kemampuan otak kanan dan otak kirinya? Benarkah ketika kemampuan eksakta seseorang begitu tinggi, sense seninya menjadi begitu rendah, dan sebaliknya? Sesimpel itu?

Saya mengenal seseorang yang sangat pintar di bidang eksakta, tapi ia tidak menyukai hal-hal yang berbau seni. Saya juga mengenal orang lain yang juga pintar di bidang eksakta, tapi masih menikmati hal-hal yang berbau seni. Jadi, bagaimana? Apakah ini ada hubungannya dengan minat masing-masing orang?

Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di atas muncul lebih karena saya ingin mengenali diri saya sendiri. Sejak SD, kemampuan eksakta saya bisa dibilang lebih dominan, meskipun saya sudah mulai sering menulis fiksi waktu itu (bukankah menulis fiksi juga termasuk seni?). Saat kuliah, saya lebih bingung lagi. Eksakta yang saya pikir merupakan dunia saya, ternyata menjadi hal yang tidak terlalu menyenangkan lagi. Justru kini saya lebih menikmati seni; lewat karya-karya sastra, karya-karya fotografi, lukisan-lukisan, sinematografi, seni arsitektur, bahkan seni teater.

Namun, untuk dibilang sebagai pelaku seni, tentu saja masih jauh sekali. Saya hanya sekedar penikmat seni. Jadi, bagaimana? Saya termasuk ”orang otak kanan” atau ”orang otak kiri”? Ah, entahlah...

Recovery

Sehari setelah saya keluar dari rumah sakit, orang tua membawa saya pulang ke Solo. Mereka ”memaksa” saya beristirahat di rumah sampai benar-benar pulih. Maklum, ketika keluar dari rumah sakit, jumlah trombosit saya belum normal, masih lemas dan pusing, serta masih sedikit batuk.

Trombosit menjadi indikator utama kesehatan seorang pasien demam berdarah. Ketika masuk rumah sakit, jumlah trombosit saya 95.000 (angka normal adalah 150.000-450.000). Kemudian terus turun menjadi 34.000, 25.000, hingga mencapai angka 19.000. Kata petugas rumah sakit, darah pasien demam berdarah biasanya lebih kental dari orang normal sehingga pembuluh darah rawan pecah. Itulah sebabnya pasien demam berdarah diharuskan mengonsumsi cairan sebanyak-banyaknya, baik lewat cairan infus maupun air minum, untuk mengencerkan darah.

Darah yang kental juga menyebabkan sirkulasi ke paru-paru tidak lancar. Oleh karena itu, gejala sesak nafas sering dijumpai pada pasien demam berdarah. Beruntung, saya tidak mengalami sesak nafas. But still, selama beberapa hari nafas saya menjadi pendek-pendek dan susah mengambil nafas panjang. Alhamdulillah, pada hari kelima di rumah sakit, jumlah trombosit saya beranjak naik menjadi 35.000. Pada hari keenam, angkanya mencapai 72.000 sehingga saya diperbolehkan pulang pada hari ketujuh.

Beberapa hari pertama di rumah, saya masih sering berbaring di tempat tidur karena pusing. Saat itu masih banyak yang membesuk ke rumah, terutama om dan tante dari keluarga besar. Lagi-lagi, saya merasa istimewa dengan semua perhatian dan kasih itu. Dan tentu saja, the best thing about being home is that there’s always something I can eat! Duh, makaaan terusss... Hehehe...

Seminggu setelah keluar dari rumah sakit, orang tua ”memaksa” saya menjalani tes darah untuk memastikan jumlah trombosit saya sudah mencapai angka normal pada ambang 150.000-450.000. Setelah hasil tes darah keluar, kami kembali dikejutkan oleh jumlah trombosit yang ternyata masih tidak normal. Tapi kali ini angkanya malah menjadi 522.000. Hohoho... recovery-nya berhasil...

Yang Tersisa dari Maria 2311

”Suster, bisa minta tolong dinaikin suhunya? Saya kedinginan.”

”Suhu apa ya?”

”Suhu AC-nya.”

”Lho, di sini kan nggak ada AC-nya, Mbak.”

Saya sering terkikik sendiri ketika mengingat dialog di atas, kala saya terbaring sendirian di Gedung Maria kamar 2311 Rumah Sakit Borromeus, 13 Juni 2005. Malam itu malam pertama saya di berada di ruangan itu, setelah sebelumnya terbaring satu setengah jam di UGD. Kakak laki-laki saya, satu-satunya keluarga yang mengurus saat itu, sedang pulang sebentar untuk bersiap bermalam di rumah sakit menemani saya.

Beberapa hari setelah UAS terakhir berakhir, selama empat hari badan saya panas tinggi. Semula saya berpikir hanya kecapekan biasa, karena sebelumnya saya sering sekali panas hanya karena badan kecapekan. Suhu badan yang tak kunjung turun --belakangan saya baru tahu kalau sempat mencapai angka 40-41 derajat celcius-- memaksa saya menjalani tes darah. Ternyata saya terkena demam berdarah dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit.

Lega juga harus rawat inap di rumah sakit (lho??). Tak lain karena saya sudah merasa kewalahan terbaring tak berdaya di kamar kos selama empat hari. Rasa bersalah karena merepotkan teman-teman sekos juga membuat saya berpikir, lebih baik dirawat di rumah sakit saja. Belum lagi, akibat panas yang tinggi dan pusing yang luar biasa, saya susah tidur dan sering mengigau. Ah, betul-betul masa penuh cobaan...

Selalu ada hikmah yang dapat saya ambil. Terbaring di antara orang-orang sakit, saya betul-betul merasa bersyukur hanya terkena demam berdarah. Salah seorang pasien yang sekamar dengan saya adalah seorang nenek yang hanya bisa terbaring dengan mata terpejam selama berhari-hari, dengan alat-alat kesehatan mengelilingi beliau. Saya berpikir, keadaan saya jauh lebih baik. Saya akan segera sembuh dan segera keluar dari situ.

Hal lain yang betul-betul membuat saya terharu adalah perhatian yang saya dapat kala itu. Kasih yang tak henti-henti mengelilingi, dari keluarga dan dari teman-teman, membuat tujuh hari di rumah sakit terasa berwarna. Tawa dan doa dari mereka membuat saya merasa jauh lebih baik. Bahkan panas tinggi, bibir yang berdarah-darah, tangan kiri yang bengkak akibat darah yang membeku di selang infus --dan karenanya selang infus harus dipindah ke tangan kanan-- serta suntikan jarum setiap hari menjadi hal-hal yang tak terlalu merisaukan. Segala kasih dan perhatian itu membuat saya benar-benar merasa berharga.

Satu hal yang tak pernah saya lupakan adalah perasaan damai yang menyelimuti saya malam itu ketika terbaring di UGD, akibat mendengar lantunan merdu bacaan Al Qur’an dari kerai sebelah. Segala sakit dan penat menguap sudah...

(Tak tahu bagaimana harus membalas Papi, Mami, Mas Didik, dan seseorang yang dengan penuh kasih senantiasa menunggui di rumah sakit. Rasanya ucapan terima kasih tak akan pernah cukup...)

SMS Sakit

”Mbak ika smoga lekas sembuh ya..dibantu doa dech dari bpk&ibuku juga dr mbah uti yg nginep dirmhku.yg sabar ya...;-)” (”Rafa”, Senin 13 Juni, 20.18)

”Smoga mjadi pgugur dosa, kbnykan ngeliatin boneka d dkt jendl ya ampe dgi2tin nyamuk:< byk bobo ya jgn main hp terus:D” (Yuti, Senin 13 Juni, 20.19)

”Allahuma isfi anta syafi la syifa’an illa syifa uka,syifa’an la yughodiru saqoman wala alaman(riwayat imam turmudzi) baca do’a ini ya! Smg cpt sembuh.” (Kiki, Senin 13 Juni, 21.14)

”Asw.kaifa halukh?ukhti smg lekas smbuh.sakit akn mjadi pgugur dosa bila qta sabar.aku mencintaimu karna 4WI.afwan blm bs nengok,msh d dmm.” (Detri, Senin 13 Juni, 23.29)

”Afwan br dbalas,syafakillah ya,innama’al ’usri yusro,ssngguhnya brsama ksulitn pasti ada kmdhn.Smg Yustika tmsk golongn org2 yg brsbr&smg 4JJI pun mmdhkan,amin.” (Teh Vira, Selasa 14 Juni, 06.59)

”Mbak,katañ kena db?bnyk istirahat..lekas sembuh ya..sori ga bisa nemenin” (Maya, Selasa 14 Juni, 10.31)

”Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.Sgala pnykt dtg dr Allah,smg jd pgugur dosa.Boromeusny ruang brp?Smg bs ksana jga,kalo g bsok,mgkn lusa.Bsbar ya,cpt smbh-iin” (Teh Iin Churin’in, Selasa 14 Juni, 10.42)

”AssWrWb.PripunKabare,Mbak?ktñMskRS?DemamBerdarah?MasyaAlläh..skrgSiapaYgNemenin?sySdg@Bogor,DMM.MaafBlmBsBesuk.makanYgCukup,istirht,&jgnLupaDo’a.SabarYah..Wss” (Dini, Selasa 14 Juni, 12.42)

”Yus,ini mbak aan.Denger dr anak2,katanya yustika kena DB.Maaf bgt ya,aku belum bs ksana:( Aku doain smoga cepat sembuh ya yus..Salam utk keluarga” (Mbak Aan, Selasa 14 Juni, 20.01)

”Ass.yus,kudengar km masuk borromeus ya?sakit apa?ruang apa,kmr brp?aq pgn jnguk.” (Fatma, Selasa 14 Juni, 20.04)

”Piye tho,njarene awak mu sakit.sak iki kan waktune liburan.”kacian d loe”,yo wis jaga kondisi yo” (Zaki, Selasa 14 Juni, 20.30)

”Assalamoalaikum.gimana kabarmu yus?mudah2an cpt pulih spt sediakala.” (Fatimah, Jumat 17 Juni, 08.18)

”Asslmkm. Yus,msh d Brmeus? Maaf C gk bs jenguk,skr lg d Plbg. smoga cpt sembuh ya,, yg sabar..insyAllah mjadi berkah :-) luv U -citra-” (Citra, Jumat 17 Juni, 10.17)

”Assalamu’alaikum. Piye Ka ? jaré opnamé ? kondisimu piyé sak iki ? ono sing ngancani opo ora ? mudah2an cepet sembuh. Wassalamu’alaikum” (Lik Is, Sabtu 18 Juni, 10.52)

”Assalamu’alaykum.just,afwan jiddan blm bs jenguk..syafakillah..lekas sembuh.smoga keikhlasan yg mengiri snantiasa mgugurkan dosa2&m+ keistiqomahan.luv u sist..” (Nana, Senin 20 Juni, 07.52)

”Ass. Yustika dénger2 lg sakit ya? Duh.. Gmn sih critanya kok bsa kena DB? Pake acara opname lg :-( tp dah sembuh kan skrg? Istirahat yg byk ya non. Wass” (Tanto, Senin 20 Juni, 20.20)

”AswWrWb, yustika. Sudah membaik kondisinya ? afwan, baru sempat ”mbezuk”. Semoga seluruh detik hidup yustika diridlai 4JJI SWT.” (Yando, Kamis 23 Juni, 18.17)

Dalam Duka

Kau hentikan waktu
dengan riak yang berpusing dan sejuta galau yang membias kabut
Mendung turun satu-satu
mencipta segaris bisu lalu diam-diam menjelma sunyi
Bahkan sepi merajai ruang antara kita
mencerabut uluran tangan, menepikan pandang teduh itu
Dalam segala resahmu ada cintaku
Pada segala keluhmu ada basuh rinduku
Tiap tetes embun matamu tercurah pula sayangku
Maka mengapa mesti menyerahkan mentari pada sang senja
sementara dalam tiap desah nafasmu ada dekap kasihku

Old Trafford Stadium

Old Trafford bukan sekadar legendaris, tapi juga modern. Di sini, konsep soccer stadium modern digulirkan. Ia menjelma sebagai pusat bisnis raksasa yang menobatkan sang pemilik, Manchester United, sebagai klub terkaya di dunia.

Tanggal 19 Februari 1910 menjadi tanggal bersejarah bagi Manchester United Football Club. Hari itu, lembaran sejarah mulai mencatat eksistensi Old Trafford Stadium, markas baru klub berjuluk Red Devils itu. Pertandingan pertama yang digelar adalah Manchester United lawan Liverpool. Sandy Turnbull (Liverpool) adalah orang pertama yang mencetak gol di stadion yang berkapasitas 80.000 orang itu. Sekaligus membawa Liverpool menjadi klub pertama yang menang di Old Traford dengan skor 4-3.

Mulanya, Old Trafford hanya memiliki satu tribun, Main Stand. Juga belum mempunyai lampu untuk pertandingan malam hari. Lampu stadion baru terpasang pada 1957, dioperasikan pertama kali pada 25 Maret ketika MU menjamu Bolton Wanderers. Old Trafford mengalami banyak pembenahan di era kejayaan MU pada dekade 60-an. Tribun baru, West Stand, yang berkapasitas 22.000 orang selesai dibangun pada 1959. Untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 1966, dibangunlah Cantilever Stand, tribun atas pertama yang menghabiskan biaya sebesar 350.000 pounds.

Tanggal 17 Maret 1995 menjadi tonggak sejarah kedua bagi Old Trafford. Ketika itu, Martin Edwards –pimpinan direksi MU– mengeluarkan pernyataan bersejarah, “MU akan merombak Old Trafford menjadi stadion termegah, berbiaya besar, dan mejadi proyek paling bergengsi yang pernah dibuat MU.”

3-Tier North Stand, proyek tersebut, menyedot dana sebesar 19 juta pounds. Empat ratus ton baja didatangkan untuk membangun tribun bertingkat dan beratap terbesar di Eropa. Sebanyak 32 boks khusus yang disebut Sky Boxes dibangun di atas tiang penyangga kedua. Proyek itu digarap pada musim kompetisi 1995/1996 dan resmi dibuka awal 1996. Kapasitas stadion melonjak hingga 55.000 orang. Old Trafford menjadi stadion terbesar di Inggris.

Old Trafford adalah stadion sepakbola modern. Tempat sebuah pertandingan sepakbola digelar cuma menjadi salah satu fungsi stadion ini. Selebihnya, Old Trafford menjelma menjadi pusat bisnis MU yang mendatangkan banyak keuntungan. Untuk menunjang fungsinya sebagai lapangan pertandingan, Old Trafford memiliki fasilitas lengkap seperti auditorium, ruang kontrol, kamar ganti, Executive Suite, ruang pemain, Private Boxes, press room, dan P.A. Room.

Sedangkan Museum, Megastore, dan Red Café menjadi fasilitas pelengkap Old Trafford dalam menyediakan diri sebagai tempat wisata. Fungsi wisata itu terlihat dari, misalnya, usaha menggelar Manchester United Tour untuk melihat semua fasilitas stadion. Tur itu dibuka mulai pukul 9.30 pagi hingga 4.30 sore. Di saat ada pertandingan, program tur diliburkan. Peminat harus memesan tiket seminggu sebelumnya kalau tidak ingin kehabisan tempat. Tapi ada beberapa bagian yang tak bisa bebas dimasuki. Tak seorang pun diizinkan menginjak rumput lapangan Old Trafford. Lapangan hanya dipakai oleh pasukan Setan Merah berikut stafnya di kala berlatih dan bertanding.

Lapangan tersebut berukuran 106 meter x 69,5 meter. Rumput yang ditanam –disebut Kentucky Blue Grass– berasal dari Amerika. Rumput tersebut cocok untuk permainan keras dan tidak membutuhkan banyak sinar matahari untuk pertumbuhan. Pada bulan April hingga November, rumput dipotong tiga kali seminggu. Sementara pada bulan November hingga April, rumput dipotong sekali seminggu. Untuk pengaturan volume air di lapangan, pihak MU juga menggunakan sistem drainase bawah tanah yang ditanam di bawah lapangan.

Stadion ini menyimpan sebuah tempat bersejarah bernama The Centre Tunnel, yang merupakan bagian yang dipertahankan sejak pertama kali dibangun. Lorong bagi pemain untuk memasuki lapangan itu merupakan bagian yang selamat dari hujanan bom yang dilakukan pasukan Jerman pada 1941. Lorong tersebut dipakai hingga 1993.

Bagian lain yang dijadikan monumen sejarah di Old Trafford adalah patung Sir Matt Busby. Patung tersebut diletakkan di gerbang utama, diresmikan Mei 1996. Di gerbang utama juga terpasang sebuah jam (mati) yang menunjuk pukul 08.45 tanggal 6 Februari 1958, tepat pada waktu pesawat yang ditumpangi pasukan Red Devils terbakar di Munich.